Langit Hitam Majapahit – Gunung Semar (3 – habis)

Langit Hitam Majapahit – Gunung Semar (3 – habis)

Untuk sejumlah waktu ia tenggelam dalam kenangan. “Aku pun akan meninggalkan kotaraja dan memulai kehidupan baru karena ia telah menantiku. Pertemuan dan perisahan adalah kelengkapan yang utuh,” kembali Bondan berdesah tanpa suara. Sekilas bayang wajah terpampang jelas di bawah kelopak matanya, “Bagaimana keadaannya? Kepada siapa aku bertanya?” Mpu Gandamanik menghela napas lembut. Ia berkata, “Tempat ini adalah sebuah awal bagimu, jika engkau tidak sanggup melihatnya sebagai penanda. Engkau dapat mengira bahwa tempat ini adalah tanah kelahiran  seorang lelaki bernama Bondan, meski itu tidak dapat menampik kenyataan bahwa engkau adalah cucu Resi Gajahyana. “Dari tempat ini, engkau dapat melihat segala sesuatu dengan cara pandang yang baru tanpa mengabaikan dasar-dasar yang telah ada. Kakekmu telah membekali dirimu dengan pengetahuan yang luar biasa, pengajaran yang dahsyat dan sebangsal ilmu kanuragan yang hebat. Maka tidak akan ada yang mampu menggeser semua itu dari hatimu.

Baca juga :
  1. Bab 1 Menuju Kotaraja
  2. Bab 2 : Matahari Majapahit
  3. Bab 3 : Di Bawah Panji Majapahit
“Aku adalah penerus kata-kata Resi Gajahyana. Ia pernah mengatakan ini kepadamu, ‘ketika engkau meninggalkan regol halaman lalu meniti jalan untuk mencari, sebenarnya itu adalah tujuan akhir dari perjalanan.’ Beranjaklah untuk ayunan langkah yang sudah semestinya telah menjadi kewajibanmu untuk menempuhnya. Gunung Semar akan menjadi pengingat bagimu ketika engkau telah beranjak lebih tinggi. Segala yang terlihat jelas oleh mata wadag sebenarnya menyimpan kepalsuan. Sebaliknya, kadang kala yang dianggap palsu atau tidak nyata justru menyimpan yang sejati,” Mpu Gandamanik memungkasi kalimatnya seraya mengikatkan udeng me- lingkari kepala Bondan. Gumilang segera bangkit berdiri, ia tidak ingin Bodnan semakin tenggelam dalam laut keengganan. Kedua tangan Gumilan terulur mengajak Bondan untuk meninggalkan Mpu Gandamanik. Sekalipun dalam hati Gumilang ingin mengajak serta tabib yang rendah hati ini ke Trowulan tetapi ia tahu bahwa Mpu Gandamanik akan menolak ajakannya. Tak lama kemudian, Bondan serta Gumilang mohon pamit untuk kembali ke Trowulan kepada Mpu Gandamanik. “Eyang, semoga selalu dalam keadaan sehat dan bahagia.” Bondan menundukkan kepala. “Tataplah ke depan, Ngger. Aku tahu engkau akan mengalami penempaan luar biasa,” sahut Mpu Gandamanik kemudian. Keduanya memberi penghormatan terakhir. Bondan tidak melepas kedua lutut Mpu Gandamanik dengan segera. Dalam diam, ia bercakap sendiri, “Bilakah masa itu tiba mendatangimu, ke mana aku harus mencarimu, Tuan Guru? Resi Gajahyana dan engkau adalah mentari dan rembulan bagiku. Ketika tenggelam mentari, bulan akan hadir sebagai pengganti. Lalu jika keduanya pergi?” Bondan memutar tubuh lalu menyusul di belakang Gumilang. Keduanya dengan tangkas melompat ke atas punggung kuda lalu memacu perlahan menuju ibu kota kerajaan.
Baca juga :
  1. Bab 1 Menuju Kotaraja
  2. Bab 2 : Matahari Majapahit
  3. Bab 3 : Di Bawah Panji Majapahit
Matahari untuk sesaat telah melewati garis tengah perjalanannya ketika Bondan dan Gumilang tiba di kotaraja. Bola cahaya itu menyibak malam dengan kelembutan sinar berwarna keemasan. Terangnya merambat lembut di setiap benda yang disentuh. Embun tak lagi malu untuk bergulir lembut. Menetes dari ujung daun dan dahan, perlahan dan penuh kehati-hatian. Kemilau bulir embun seperti berlian yang menawan setiap mata yang memandang. Tidak banyak yang dilakukan oleh Bondan sejak kedatangannya kembali di rumah Nyi Retno. Walau begitu, ia terlibat pembicaraan sungguh-sungguh sehari setelah kepulangannya dari tempat Mpu Gandamanik. “Inilah yang aku khawatirkan terjadi padamu, Bondan,” suara Nyi retno menghempas kesunyian senja. Bondan merunduk. Ia tidak ingin membantah bibinya atau membenarkan perbuatannya. “Dapatkah engkau bayangkan tanggapan gurumu jika ia mendengarmu terluka parah dan harus melewatkan waktu berbulan-bulan ditempat adik seperguruannya?” lanjut Nyi Retno. Bondan menggeleng. “Apakah engkau telah menimbang perasaan dan pikiran bibi seandainya engkau terluka? Dan aku dapat melihat bahwa memang engkau telah terluka,” nada lembut terdengar di balik ketegasan Nyi Retno. “Meski aku dapat menerima alasanmu tetapi menghadapi dua orang musuh sekaligus? Apakah engkau mempunyai kata yang tepat untuk menggambarkan keadaan itu?” Tidak ada jawaban dari mulut Bondan. Nyi Retno menarik napas panjang. Kemudian katanya, “Segala yang engkau alami telah berlalu. Tetapi jika engkau masih berkehendak mengabaikan bibi dan gurumu, setidaknya kau dapat berpikir tentang masa yang akan berada di bawah arahanmu… Engkau memiliki masa depan di Pajang dan itu sedang menunggumu.” Selepas Nyi Retna mengurai panjang lebar tentang kelanjutan cara penyembuhan, ia mengatakan pada Bondan bahwa keponakannya ini dapat menggunakan sebuah bangunan kecil di bagian belakang rumah. Mereka mengakhiri percakapan dan Bondan menuju tempat yang ditunjuk oleh bibinya, “Tenggelam dalam kesunyian dengan mengheningkan cipta. Meniadakan segala daya. Melarutkan segala yang melekat.” Berulang-ulang Bondan mengucap lirih setiap  pesan bibinya. Pada malam itu, Bondan akan menghabiskan waktu di dalam bilik gelap di dalam candi. Ia akan berada di tempat itu selama waktu yang telah ditentukan oleh bibinya. Bondan tengah berada di dalam tahap terakhir penyembuhan bagian dalam tubuhnya yang terluka dalam pertarungan di Sumur Welut. Untuk itulah ia memulihkan tubuh dan berlatih dalam ruang gelap supaya daya ketajaman pendengarannya segera pulih. Seringkali ia melewatkan waktu malam untuk duduk di bagian dalam candi. “Apakah seperti ini suasana di dalam rahim ibu? Tidak salah karena memang tidak ada jalan masuk bagi cahaya ke dalamnya. Aku tidak dapat mengandalkan kedua mata ini untuk mengenali setiap benda atau apa saja yan gberada di dalam ruang ini. Begitu pun jika aku berada di luar candi, sudah tentu tidak cukup hanya berbekal pendengaran dan penglihatan saja. “Selaras dengan kehidupan yang berputar karena matahari selalu kembali pada tempat terbit. Pelepasan setiap yang terang akan menggeser pandangan menjadi gelap, dan sebaliknya, dan seterusnya. “Aku akan memastikan agar selalu mendengar itu, Bibi. Guru,” Bondan berkata pada dirinya sendiri. Hari demi hari dilaluinya dengan latihan dan latihan. Terkadang ia berlatih di bawah gemericik air terjun kecil yang dibuatnya sendiri. Tak jarang pula ia berlatih tanding dengan Gumilang dalam keadaan mata tertutup dengan iringan tabuhan-tabuhan yang berisik.
Baca juga :
  1. Bab 1 Menuju Kotaraja
  2. Bab 2 : Matahari Majapahit
  3. Bab 3 : Di Bawah Panji Majapahit
Dalam lengang di sekitar candi terdengar teriak Bondan kesakitan dari dalam bilik gelapnya. Sela Anggara yang segera menerobos masuk bilik yang berdinding batu itu. Ia merengkuh tubuh Bondan dan membawanya ke luar. “Ada apa, Bondan? Jangan engkau paksakan dirimu. Harusnya engkau sedikit bersabar. Semakin kau paksa daya tahan, luka-luka itu akan semakin susah untuk sembuh,” kata Sela Anggara yang terkejut melihat darah yang keluar dari telinga Bondan. Baca Juga :
Bab 4 : Gunung Semar
“Iya. Aku sedikit memaksa kali ini. Aku pikir kurang sedikit lagi,” ujar Bondan sambil memberi isyarat mendekatkan jari telunjuk dan ibu jarinya. “Mari, aku bantu.” Sela Anggara melakukan beberapa pijatan pada leher dan punggung Bondan supaya terbebas  dari rasa sakit untuk sementara waktu. (bersambung ke bab selanjutnya)        

Sumber: