Jauh di Mata (Tak) Dekat di Hati (1)
“Semua Lelaki Sama, Bajingan”
Kulitnya bersih. Wajahnya cantik. Tubuhnya proporsional. Sayangnya pesona itu tenggelam di balik rambut acak-acakan dan wajah pucat. Pandangan kosong turut memperkeruh penampilan. Wanita 30 tahunan tersebut duduk di kursi ruang tunggu Pengadilan Agama (PA) Surabaya. Ada tempat kosong di sebelahnya. Kebetulan. Memorandum mendekat dan permisi hendak duduk. Jangankan mempersilakan, wanita tadi, sebut saja Nana, hanya diam. Menoleh pun tidak. Wanita lebih muda di samping kiri Nana menyenggol lengannya, baru dia bereaksi, “Monggo,” katanya memersilakan Memorandum duduk. “Maaf, Mbak masih sedih. Dia disakiti suami,” kata wanita yang lebih muda tadi, sebut saja Hanum. Basa-basi pun tercipta di antara kami. Menurut Hanum, kakaknya trauma terhadap lelaki karena baru saja disakiti suaminya, sebut saja Kozin. Pria itu mengkhianati cinta mereka di depan mata. Terang-terangan. Blak-blakan. Saking traumanya, kakaknya tersebut sampai menilai semua laki-laki sama saja. Tidak bisa dipercaya. Hal serupa memang pernah juga terjadi pada keluarga Hanum. Suami Hanum tepergok Nana keluar hotel dengan wanita lain. “Semua lelaki sama. Pengkhianat. Bajingan. Ya kan?” kata Nana tiba-tiba sambil menoleh ke Hanum. Sorot matanya penuh kebencian. Seperti ada lava panas memancar dari bola matanya. Hanum mengangguk dan mencoba menenangkan kakaknya. Diraihnya pundak Nana, ditepuk-tepuk, lalu didekatkan kepala sang kakak ke pundaknya. Lantas dielus-elus. Penuh kasih. Hanum mengaku bisa memahami apabila Nana sampai trauma. Sebab, sebelum tragedi itu terjadi, rumah tangga kakaknya berjalan sangat harmonis. Nana sering memuji-muji Kozin di depan saudara-saudara. Apalagi di depan Hanum, yang suaminya dipergoki Nana sedang berselingkuh. Nana selalu mengaku bangga memiliki suami sebaik Kozin. Orangnya genteng, penuh pengertian, sabar, dan pandai mengalah. Karena itu, perubahan perilaku Kozin dirasakan Nana sangat menyakitkan. Pelan-pelan Hanum mengubah posisi duduk untuk menyamankan posisi Nana yang ternyata tertidur di pelukannya. “Dia sering begini. Maklum, terbiasa tidak bisa tidur berhari-hari. Begitu kantuk menyerang, jadinya tidur sembarangan,” kata Hanum. Orang-orang di samping Hanum berdiri, mempersilakan tempat duduknya dipakai Nana agar bisa tidur selonjor. Memorandum membantu mengangkat kaki Nana agar bisa bertumpu di kursi. Hanum minta maaf kepada orang-orang tadi, lalu melanjutkan kisah Nana. Kata dia, rumah tangga kakaknya yang dibina sejak 12 tahun lalu mulai goyah sejak Kozin dipindahtugaskan ke luar kota. Ke kota kecamatan kecil, ujung selatan Pacitan. Kozin diangkat menjadi kepala cabang di daerah terpencil tadi. “Sebenarnya Mas Kozin sudah mengajak Mbak Nana pindah ke sana (Pacitan, red), tapi Mbak tidak mau. Alasan Mbak Nana, kualitas pendidikan anaknya akan down kalau mereka tinggal di pelosok pedesaan,” kata Hanum. Akhirnya Kozin menyerah harus bekerja jauh dari keluarga. Ia pulang ke Surabaya seminggu sekali. Datang setiap Jumat malam dan kembali di Pacitan Minggu siang atau sore. (jos, bersambung)Sumber: