Ulah Jono Dinilai Membunuh Ibunda dan Melukai Perasaan
Oleh: Yuli Setyo Budi, Surabaya Sayang, Nelangsa tidak bisa memenuhi permintaan Nia. Alasannya sederhana: takut dimarahi dan diminta berpisah dari Jono. Nia tidak memaksa. Dia hanya titip pesan kepada Jono untuk disampaikan kepada Nelangsa. Begini isi pesannya, yang dituliskan pada selembar sobekan kertas: Adik Angsa (sebutan Nia untuk Nelangsa, red), aku tidak bakal marah kepada Adik. Dulu aku memang sempat marah, tapi kini aku ikhlas menyerahkan Mas Jono kepada Adik. Pesanku, jaga dia. Mas Jono orang yang baik dan sabar. Tidak pernah menyakiti aku, kecuali menikah diam-diam dengan Adik. Tapi sekarang sudah aku maafkan semua. Berjanji ya?! Kakak yang mencintaimu, ttd Nia. “Tidak lama setelah menggenggamkam surat itu di tangan, kondisi Nia melemah. Hari itu juga Nia berpulang. Almarhumah pergi dengan meninggalkan senyum di bibir,” kenang Jono. Membaca pesan dari Nia, Nelangsa mengaku menyesal berprasangka buruk kepada almarhumah. Dia juga menyesal tidak bisa secara langsung meminta maaf kepada madunya tersebut. Yang jadi masalah sekarang, walau Nia bisa menerima kenyataan Jono menikahi Nelangsa, anak-anak mereka, sebut saja Toni dan Bunga, tidak demikian. Toni yang baru lulus SMA dan Bunga yang duduk pada semester tujuh perkuliahan marah. Mereka tidak menerimakan ibunya menderita, bahkan sampai meninggal, karena ulah ayahnya dan Nelangsa. Pikir keduanya, dan ini sering disampaikan ke Jono, mereka tidak akan kehilangan ibu andai ayahnya tidak bermain api vs Kenanga. “Tidak saja membunuh Ibu, Ayah juga menyakiti kami,” begitu inti rutukan Toni dan Bunga seperti diungkapkan Jono. Sikap Toni dan Bunga tidak main-main. Keduanya mengancam ayahnya dengan keras: pilih mempertahankan mereka atau mempertahankan Kenanga. Kalau Jono bersikeras mempertahankan Kenanga, Toni dan Bunga siap meninggalkan rumah dan tinggal bersama kakek-neneknya di Jombang. “Aku seperti disuguhi buah simalakama. Pilih memakannya, bapak mati; pilih tidak memakannya, ibu yang mati. Akhirnya aku berunding dengan Kenanga, memintanya untuk bersabar sementara waktu,” tutur Jono. Kepada Toni dan Bunga, Jono mengaku menyesal telah menyakiti hati ibu mereka dan berjanji secara perlahan bakal meniggalkan Kenanga. Tapi kepada Kenanga, Jono malah berjanji bakal berusaha sekuat tenaga untuk mendinginkan hati kedua anaknya agar bisa menerima kehadiran Kenanga. “Kok janjinya tidak selaras?” tanya Memorandum. Jono terlihat bingung. Galau. “Aku bingung,” katanya kemudian. Wajahnya terlihat keruh dan gesture tubuhnya memperlihatkan ketidaknyamanan. Tidak lama kemudian Jono pamit pulang. “Aku cabut dulu, Pak,” katanya sambil melangkah menuju sepeda gunungnya. “Insha Allah besok ketemu lagi. Di sini, kalau Pak Yuli bersedia,” kata Jono. Sebelum dia berlalu, Memorandum minta izin minta nomor teleponnya. Siapa tahu dibutuhkan. Musala depan rumah menunggu Jono. Waktu itu jam menunjukkan pukul 04.53. Sepi. Tidak terlihat batang hidung Jono. Jangankan batang hidung, batang tubuh saja tidak kelihatan. Biasanya Jono sudah duduk tafakur di sana. Entah salat Subuh di mana dia kok ketika Memorandum datang, Jono sudah njegegrek ndik baduk jembatan. Tapi, kali ini sepi. Memorandum yang menunggu hingga setengah jam tidak membuahkan hasil. (bersambung)
Sumber: