Langit Hitam Majapahit – Di Bawah Panji Majapahit (5-habis)

Langit Hitam Majapahit – Di Bawah Panji Majapahit (5-habis)

Bondan makin jauh terpental, ia terjengkang lalu terbanting keras. Setelah bangkit dengan cepat dan muka memerah serta mulut berdarah, ia meraba bagian kanan perutnya dan sekilas melihat cairan merah telah membasahi pakaiannya. Ketika ia memandang dua lawannya, sinar mata Bondan seakan melontarkan api yang membakar keduanya. Selangkah maju dengan tubuh terhuyung, Bondan kembali menerima ancaman : tendangan beruntun Ki Cendhala Geni. Orang tua ini tanpa malu memanfaatkan keadaan Bondan untuk menyerang. Bondan menghindar, membalas dengan keris yang menyabet setengah putaran. Gerakan itu memberinya kesempatan untuk mengembalikan keseimbangan, namun tidak disangka olehnya jika sebatang tombak meluncur deras padanya, bersamaan dengan itu, Ki Cendhala Geni datang menyerang dengan sabetan kapak yang berputar-putar seperti roda bergigi tajam. Bondan masih sanggup menghindari maut dari kapak yang berusaha membelah tubuhnya, tetapi senjata Ubandaha telah menggores bahunya dan kibasan kapak merobek perutnya. Ki Cendhala Geni melakukan gerakan memutar sambil melepaskan tendangan yang tepat mengenai dagu Bondan. Ia terpental dan roboh namun masih berusaha menegakkan kepalanya. Ubandhana melihat kesempatan emas. Ia menerjang dengan satu pukulan dahsyat. Ulu hati Bondan tepat terhantam tinju Ubandhana. Bondan kembali terpental cukup jauh akan tetapi Ubandhana yang bernafsu membunuhnya masih menggempur bertubi-tubi. “Ubandhana, awas!” Satu peringatan keras yang ditujukan pada Ubandhana bersamaan dengan  munculnya sebatang panah di antara jilat lidah api. Anak panah ini datang dari kegelapan, meluncur deras dan mengarah punggung Ubandhana. Seruan Ki Cendhala Geni menghindarkan Ubandahana dari ancaman bahaya. Ia membuang diri dengan menjatuhkan tubuh ke samping.

Baca juga :
  1. Bab 1 Menuju Kotaraja
  2. Bab 2 : Matahari Majapahit
Tiba-tiba kobaran api berkibar-kibar tertiup angin kencang dengan lidah api yang berusaha melilit Ubandhana seperti seekor ular yang akan membelitnya. Dari balik nyala api yang cukup besar, terlihat seorang lelaki muda dashyat memutar pedang hingga angin terdorong dan sanggup menghempaskan jilatan api membidik Ubandhana. Gumilang meluncur cepat dari balik kobaran api lalu menghujani Ubandhana dengan tusukan pedang yang bertubi-tubi. Dilanjutkan dengan gerakan memutar pedang, Gumilang menghujani Ubandhana dengan tendangan demi tendangan yang bersusulan secara beruntun. Serangan yang sangat berbahaya ini mampu melenyapkan nyawa Ubandhana dalam sekejap jika ia tidak memutar tombak menutup tubuhnya. Di bagian sayap yang lain telah terdengar gemuruh suara orang-orang yang menggebrak anak buah Ki Cendhala Geni. Mereka adalah bala bantuan dari kotaraja yang bersamaan dengan masuknya Gumilang ke medan yang telah dibasahi darah. Prajurit yang baru memasuki arena pertempuran itu seperti rajawali yang menyambar mangsanya. Kuda-kuda mereka berkelebat seperti bayangan hantu yang menebar kematian. Tidak butuh waktu lama untuk mengubah keadaan. Kelonggaran pertempuran mulai dirasakan oleh prajurit Ki Guritna. Robohnya Ranggawesi dan Ki Lurah Guritna sangat mengganggu semangat mereka dalam bertempur. Namun kehadiran seorang anak muda yang tidak mereka kenal telah membakar harapan mereka untuk bangkit melawan tekanan para penyamun. Sekalipun mereka belum mengenal tetapi mereka tahu bahwa anak muda itu bertempur di sisi mereka. Ditambah bantuan pasukan berkuda maka itu semua mengangkat kembali ketenangan dan semangat tempur mereka. Sehingga, para pengawal yang nyaris saja kalah kini justru mampu meredam perlawanan dari orang-orang kalap. Putus asa mendatangi para penyamun. Perlahan namun pasti para prajurit ini mulai mendesak pengikut Ki Cendhala Geni. Malam semakin larut tetapi tak juga kunjung menuntaskan setiap tetesan darah yang terus menerus mengalir membasahi tanah. Suasana yang mengerikan ketika amis darah merebak, memenuhi udara malam lalu bercampur dengan bau yang berasal dari mayat yang terbakar, asap mengepul dari kayu terbakar semakin menyesakkan dada. Pemandangan kian menakutkan dan mengerikan ketika beberapa orang dari kawanan penjahat memilih bunuh diri. Mereka merasa lebih terhormat dan tetap merasakan sebuah kebangaan jika dibandingkan mati dibunuh oleh prajurit Majapahit. Mereka yang diselimuti rasa malu, jika tertangkap hidup-hidup, telah meletakkan nyawa di ujung senjata mereka. Keinginan itu, rasa malu itu semakin menjadikan hawa maut berkuasa mencengkeram malam. Sementara di sisi yang lain, Ken Banawa segera menghantam Ki Cendhala Geni dengan busurnya. Kecepatan  perwira ini memang mengundang decak kagum. Betapa tubuhnya melesat seolah berlomba dengan anak panah yang dilontarkannya ke Ubandhana. Tiba-tiba ia membelok arah dan langsung menyerang Ki Cendhala Geni. Tak ingin membuang waktu, Ken Banawa segera menghunus pedang dan melakukan serangan gencar ke arah Ki Cendhala Geni. Ki Cendhala Geni memutar-mutar kapak menghadapi perwira Majapahit mempunyai kemampuan tinggi ini. Selintas pertanyaan muncul dalam benaknya. “Apakah orang ini yang bernama Ken Banawa? Ia mempunyai segala macam ciri yang dikatakan oleh banyak orang Aku belum pernah melihatnya namun menurut kabar angin agaknya benar jika orang ini adalah pembantu Mpu Nambi. Untuk ukuran sebagai orang kepercayaan, ia tidak mengecewakan,” desis Ki Cendhala Geni. Dalam waktu singkat mereka telah larut dalam perkelahian sengit, pada masa yang cukup pendek, Ki Cendhala Geni dapat memperkirakan jika Ken Banawa mempunyai ilmu yang hampir berimbang dengannya. Tetapi, dalam waktu itu, ia juga dapat mengamati keadaan yang sudah tidak menguntungkan karena bantuan dari kotaraja telah menebar bau kematian. Tiba-tiba Ki Cendhala Geni cepat melayang ringan mendekati sebuah gubuk dengan kobar api yang seperti bukit terbakar. Ken Banawa tidak menduga jika lawannya bergerak menjauhinya, ia berpikir bahwa musuhnya itu tengah berusaha untuk kabur. Namun pada saat itu ia menolak pemikiran seperti itu. Seorang berilmu tinggi seperti yang dikatakan oleh banyak orang, sudah tentu tidak mungkin melarikan diri dari pertempuran, batin Ken Banawa. Maka Ken Banawa dengan segala pemikiran yang timbul dalam benaknya tetap bersikap wajar. Ia tetap berupaya menjaga serangan, Ken Banawa menyusun langkah kaki sesuai perkembangan gerak musuhnya. [penci_related_posts dis_pview="no" dis_pdate="no" title="Bab 3" background="" border="" thumbright="no" number="4" style="list" align="left" withids="116367, 116785, 116785, 117195,117513" displayby="recent_posts" orderby="rand"] Namun Ki Cendhala Geni cerdik memanfaatkan api dan bara yang berserakan sebagai tameng baginya. Ia memutar kapak, maka muncul angin yang kemudian didorongnya dengan tenaga inti menuju Ken Banawa. Maka secepat lontaran anak panah, serpihan bara api melesat terbang  berlomba-lomba mencapai Ken Banawa. Tentu saja lontaran bara yang panas itu merepotkan senapati Majapahit yang kemudian, untuk beberapa saat lamanya, bertahan keras di bawah hujan api. Ia menggerakkan pedang hingga mampu menutup seluruh bagian tubuhnya. Gulungan pedang yang sangat rapat telah menjadi benteng Ken Banawa kini terlihat seperti sebuah bola cahaya kuning kemerahan karena pantulan api. Namun pada saat yang sama, Ki Cendhala Geni memanfaatkan kesempatan untuk menyisih dari laga dan segera menghilang di balik api yang menjilat-jilat tak tentu arah. “Sulit dipercaya!” Ken Banawa menahan gemas ketika lawannya melepaskan diri dari perkelahian “Kita akan bertemu lagi, Tuan Senapati!” terdengar tawa Ki Cendhala Geni dari balik lidah api. Pada lingkar perkelahian yang lain. Ubandhana melihat lawannya berkali-kali melirik ke sisi yang berbeda.  Pemuda yang telah diangkat menjadi segerombolan penjahat ini segera paham jika Gumilang tidak berkelahi sepenuh hati. “Ia cemas melihat anak itu!” pikir Ubandhana. Perubahan ia lakukan, Ubandhana menarik seorang prajurit dan dilemparkan ke arah musuhnya. Gumilang cepat menghentikan serangan dan menangkap tubuh prajurit yang melayang deras ke arahnya. “Sekarang!” Kesempatan ini dimanfaatkan Ubandhana untuk melompati kobaran api dan menghilang di kegelapan hutan sebelah selatan Sumur Welut. Melihat lawannya kabur, Gumilang tidak melakukan pengejaran atau memberi perintah prajuritnya untuk membayangi. Ia menghampiri Bondan yang terlentang lemas. Gumilang segera mengangkat tubuh Bondan keluar dari arena pertempuran dan merawat sekedarnya. Kemudian dengan bantuan seorang prajurit maka tubuh Bondan sudah berada di atas kuda. Sejenak kemudian dua ekor kuda segera menghilang dalam gelapnya malam.   Ki Cendhala Geni dan Ubandhana telah meninggalkan gelanggang, keputusan itu menyebabkan anak buah mereka bertarung seperti kerasukan setan. Gerombolan yang tersisa ini sudah meyakini akan dijemput maut bila mereka menyerah kepada Majapahit. Tampak jelas dari wajah-wajah penyamun ini yang lebih memilih mati dalam perkelahian daripada menyerahkan diri. Menyerah atau bunuh diri itu sama saja! Pada akhirnya hanya kematian yang membedakan tempat! Seperti itu yang muncul dari dasar hati mereka. Maka sisa gerombolan yang kini sudah tak bertuan lagi menjadi semakin kejam dan ganas, mereka membabatkan senjata ke arah prajurit Majapahit tanpa perhitungan dan tata gerak yang memadai. Oleh karena itu tidak membutuhkan waktu lama bagi laskar Majapahit untuk melumpuhkan gerombolan kalap ini. Singkat Ken Banawa memberi perintah pada anak buahnya untuk merawat jasad-jasad yang membujur lintang di tengah hutan. Ia akan meninggalkan prajuritnya untuk menyusul Bondan dan Gumilang. Sementara penyelesaian bagi para penyamun yang tersisa di Kademangan Sumur Welut dituntaskan oleh Ra Caksana. “Apakah Tuan telah mengetahui tujuan akhir mereka?” bertanya Ra Caksana. “Hutan ini begitu dekat dengan Gunung Semar. Gumilang akan membawa saudaranya ke sana,” sahut Ken Banawa beriringan jalan dengan wakilnya menuju tempat kuda. “Mpu Gandamanik,” pelan Ra Caksana berucap. Ken Banawa mengangguk, sekejap kemudian ia telah berada di atas punggung kuda. Ra Caksana melepas kepergian pemimpinnya dengan sebuah tatap mata penuh arti dan menyiratkan kekaguman amat mendalam. Satu pelajaran penting telah diserapnya pada malam yang dipenuhi bau kematian dan darah yang menggenang. Seorang lelaki muda meninggalkan guratan yang dalam di hati Ra Caksana. “Siapakah dia yang bertarung hingga ajal nyaris menjemputnya? Aku belum menyamainya karena ia berkelahi untuk orang-orang yang tidak dikenalnya.” (bersambung ke Bab 4)        

Sumber: