Langit Hitam Majapahit – Di Bawah Panji Majapahit (4)

Langit Hitam Majapahit – Di Bawah Panji Majapahit (4)

Tetapi kekuatan ledakan dari ujung ikat kepala Bondan dirasakan berbeda oleh orang-orang yang berkelahi di sekitar mereka. Anak buah Ubandhana sangat terganggu dan mereka sering kali harus menutup telinga jika dentuman itu terjadi tanpa henti. Meski demikian, keseimbangan pertempuran secara umum tidak dapat dipengaruhi oleh serangan tanpa wujud dari Bondan. Para prajurit Majapahit terdesak sangat hebat! Kematian Ranggawesi dan penghinaan padanya serta ditambah prajurit Majapahit yang semakin susut, harus diakui telah meluruhkan sebagian ketenangan lelaki yang datang dari lereng Merapi ini. Bondan yang bertarung tanpa ketenangan utuh akhirnya harus menerima akibat buruk. Satu tebasan menyilang tidak mampu dihindari Bondan dengan sempurna. Ki Cendhala Geni secepat kilat mengirim satu tendangan samping, cukup telak mengenai Bondan. Tetapi sebelum jatuh, Bondan sempat  mencabut keris dan berjungkir balik sambil memapas kaki lawannya. Ki Cendhala Geni tak kalah cepat, ia menarik kaki, memutar tubuh lalu menyerang dengan sabetan mendatar ke dada Bondan. Namun Bondan dengan tubuh masih melayang mampu melecutkan udeng ke pergelangan tangan Ki Cendhala Geni. Oleh karenanya, orang tua itu segera membelokkan arah kapak ke tanah untuk menghindari kibasan udeng Bondan yang sanggup mematahkan pergelangan tangannya. Keduanya terdorong surut. Lalu tegak berdiri dengan tubuh sedikit merunduk. Sebuah benda menggelinding pelan di dekat Bondan. Semakin meluap darahnya ketika melihat wujud benda yang berada di dekat kakinya. Kepala Ki Lurah Guritna! ”Pergilah ke neraka!” Tanpa melihat kedudukan orang yang melemparkan kepala lurah prajurit, Bondan telah memperkirakan letaknya, ia menerjang dengan keris menebas datar. Ubandhana terkejut dengan serangan yang tiba-tiba ini. Segera ditolaknya dengan mengayunkan tombak. Gagal menembus pertahanan Ubandhana, Bondan mengurung dengan sabetan keris dan lecutan udeng yang berkali-kali menimbulkan suara ledakan. Ubandhana merasakan kedahsyatan tenaga inti Bondan yang dialirkan ke ikat kepalanya, aliran tenaga inti menimbulkan pengaruh besar dari suara ledakan yang tak begitu keras tetapi sangat menusuk gendang telinga. Bagaikan badai halilintar, serangan demi serangan Bondan menghujani Ubandhana tanpa jeda sedikitpun. Panjangnya tombak tidak memberi keuntungan bagi Ubandhana. Sabetan udeng mampu membelit ujung tombak, kaki kiri Bondan melayang memburu wajah Ubandhana. Ia terpaksa melepas tombaknya agar bisa sedikit jauh dari sapuan kaki Bondan namun dari bawah keris Bondan yang bebas itu bersiap menembus bagian bawah ketiak Ubandhana. Tiba-tiba satu bayangan melesat sangat cepat dan menyerang Bondan dengan ayunan kapak panjang miliknya. Bondan membatalkan kerisnya yang mengarah ke Ubandhana demi menghadang kapak yang berdesing hebat. Keris Bondan tepat menahan serangan kapak panjang dari bayangan itu. Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Ubandhana untuk meraih lagi tombaknya dan berancang-ancang menusuk sisi kanan Bondan. Bondan yang mendengar desis suara tombak segera berguling membuang tubuhnya menjauhi kedua lawannya. “Ki Cendhala Geni, nyawa anak ini menjadi milikku!” seru Ubandhana sambil memutar tombak sangat cepat dan tampak seperti perisai cahaya yang memburu kepala Bondan. Sekejap kemudian kedua orang muda ini terlibat dalam pertarungan yang sangat cepat. Tanpa terasa sudah berlangsung berpuluh-puluh jurus dan keduanya bertarung seimbang.

Baca juga :
  1. Bab 1 Menuju Kotaraja
  2. Bab 2 : Matahari Majapahit
“Bagus!” Bondan menggeram penuh amarah saat dikepung oleh Ki Cendhala Geni dan Ubandhana. Bondan memutar keris, senjata ini mulai berayun lalu menggaung dan menusuk bertubi-tubi. Ubandhana tak kalah garang, ia meladeni dengan tombak yang bergerak cepat menutupi seluruh sisi tubuhnya. Dalam waktu itu, senjata Ubandhana seperti mengeluarkan gulungan sinar karena terpa cahaya dari kobaran api. Sesekali dentang senjata beradu dan ketika Ubandhana memutar tubuhnya  untuk menambah kekuatan hantaman, Bondan kadang bergerak lebih lambat. Sengaja ia menerima serangan tombak Ubandhana kemudian menambah tenaga agar tombak lawannya berubah arah. Seketika itu dengan cepat Bondan segera melakukan tusukan ke ulu hati dan bagian bawah leher lawannya. Ubandhana segera melompat ke belakang dan kecepatan tusukan Bondan masih mengenai kulit lehernya. Bondan terus mengurung musuhnya yang mulai kesulitan mengimbangi kecepatan Kyai Ngablak, nama keris Bondan. Keris Bondan meliuk, melenggak-lenggok seperti menari, namun di balik itu, pamor haus darah tercium dari suara yang keluar karena begitu cepat murid Resi Gajahyana ini  memainkan keris. Serangan Bondan akan segera berakhir di pusar Ubandhana, tetapi Bondan kembali  mendengar desing kapak dari arah kirinya. Ia harus menarik kerisnya lantas membuang diri ke samping untuk menghindari serangan kapak yang sangat cepat. “Dua lawan satu! Tetapi aku adalah Bondan. Putra Merapi yang lahir dari gelegak kawah!” desis Bondan dengan mata tajam menusuk dada Ki Cendhala Geni. “Aku akan membakar kalian berdua!” Bondan kini berhadapan dengan Ki Cendhala Geni, sebuah nama yang belum pernah didengarnya pada masa kecil. Namun ia tidak dapat merenungkan kekuatan lawannya dalam sekejap karena kapak panjang Ki Cendhala Geni sudah menderu-deru mengurungnya. Dengan kecepatan yang tidak bisa diikuti oleh mata biasa, kapak panjang segera menjadi badai yang menghujani Bondan dengan hebat. Setiap kali Bondan berhasil berkelit, ia merasa perih pada kulitnya karena hawa yang luar biasa keluar dari kapak  Ki Cendhala Geni. Apalagi lawannya  tidak memberi kesempatan untuk membalas serangan. Selanjutnya adalah serangan demi serangan hanya mampu dihindarinya. Merasakan hawa panas luar biasa di bagian punggungnya karena nyala api yang membakar sebuah bangunan, Bondan segera membalikan badan.                           Ia memutar tubuh sangat cepat seperti gasing sambil menggerakkan keris dengan pengerahan tenaga inti yang kuat, putaran angin yang keluar mampu mengangkat beberapa serpihan kayu yang terbakar. Melayang dan  berputar searah dengan pergerakan Kyai Ngablak. Tidak lama setelah itu,  tubuh Bondan berputar-putar mengakibatkan serpihan kayu membumbung tinggi. Kecepatan dan kekuatan yang sulit dinalar akal sehat telah tergelar di lingkar perkelahian Ki Cendhala Geni melawan Bondan. Sekejap kemudian, murid Resi Gajahyana ini melontarkan tenaga inti ke arah Ki Cendhala Geni. Pelepasan tenaga yang disertai kayu-kayu kecil  yang terbakar meluncur deras, tak cukup di situ, Bondan bergerak ke samping, setelah menjejakkan kakinya pada sebuah batu yang seukuran kepala kerbau, ia menerjang pertahanan lawannya. [penci_related_posts dis_pview="no" dis_pdate="no" title="Bab 3" background="" border="" thumbright="no" number="4" style="list" align="left" withids="116367, 116785, 116785, 117195" displayby="recent_posts" orderby="rand"] Serangan jarak pendek yang begitu cepat sepertinya tak dapat dihindari oleh Ki Cendhala Geni. Ia merendah untuk menghindari kayu-kayu yang terbakar, lalu melompat, menyambut serangan Bondan. Dentang senjata beradu dan bersamaan itu pula  telapak tangan bertumbukan dahsyat. Keduanya terpental! Ubandhana tidak melewatkan kesempatan itu untuk menerjang Bondan yang belum menginjak tanah. Menggunakan seluruh tenaganya, ia meloncat, kekuatan tombak itu sekarang berlipat karena bertambah dengan berat tubuh Ubandhana, ujung lancip tombak deras menuju Bondan. Dalam keadaan melayang, Bondan menangkisnya namun tusukan itu sangat kuat maka ujung tombak masih mampu menggapai dan merobek perutnya bagian kanan. Ubandhana saat itu masih menyusulkan satu tendangan dan telak mengenai ulu hati Bondan. (bersambung)        

Sumber: