Jono Menggoyang Tubuh Nia, tapi Tak Ada Respons
Oleh: Yuli Setyo Budi, Surabaya Mata Jono berkaca-kaca. Dia tidak menyangka Nia mampu menyimpan rahasia pernikahannya vs Kenanga dalam diam yang sangat panjang. Seorang diri. Tanpa curhat kepada siapa pun. “Kamu marah?” bisik Jono. “Hal apa yang membuat Mas Jono berprasangka aku marah?” “Jadi kamu akhirnya merestui pernikahanku dengan Kenanga?” “Hal apa pula yang membuat Mas Jono berpikir demikian?” “Selama ini kamu diam.” “Diam memiliki sejuta arti.” “Maksudmu?” Nia mengakhiri dialog. Ia menggerakkan tubuh membelakangi suaminya. Menatap sebaris semut yang berbaris di dinding. Mereka begitu kompak mengangkat sebutir nasi. Kadang maju bersamaan, berhenti, bahkan mundur, kemudian maju lagi. “Jadi, kamu marah?” kembali Jono melemparkan pertanyaan, yang sebetulnya sangat tidak perlu. “Kepalaku sakit,” kata Nia lirih. Datar, terdengar lebih ditujukan kepada diri sendiri ketimbang menjawab pertanyaan Jono. Tangannya meraih minyak angin di meja kecil di samping tempat tidur. Tidak sampai. Jemarinya hanya menyenggol botol minyak angin tersebut hingga terjatuh ke lantai. “Mulai kapan sakitnya?” tanya Jono. Tidak ada jawaban. Jono lantas mengambil botol yang jatuh, kemudian memberikannya ke Nia. Namun, sepertinya Nia tidak merespons. Dia masih diam. Jono menyodorkannya lebih dekat. Tetap tidak ada respons. Jono lantas berusaha menggoyang tubuh istrinya. Agak keras. Tanpa disangka, tubuh Nia terdorong hingga terjatuh berdebum ke lantai. Tak terdengar suara mengaduh. Jono panik. Dia goyang-goyang lagi tubuh Nia, tapi tetap tidak ada respons. Khawatir terjadi sesuatu pada istrinya, Jono lantas membopong Nia ke mobil dan melarikannya ke rumah sakit. “Dokter mengatakan Nia mengidap tumor otak. Tumor ganas. Sudah stadium empat,” kata Jono. Menurut dokter, imbuh Jono, Nia sudah lebih dari dua tahun mengidap penyakit itu. “Dia tidak pernah mengeluhkannya,” tutur Jono, yang mengaku amat menyesal tidak mengetahui penyakit Nia lebih awal, “Aku terlena menikmati kesenangan bersama Kenanga sehingga tidak pernah terlalu memperhatikannya.” Jono menjelaskan, dua tahun terakhir Nia memang sering mengeluhkan kepalanya yang sakit. Tapi, Jono menganggap itu sebagai sesuatu yang biasa. Dia hanya menyarankan Nia minum obat sakit kepala yang dijual di apotek dan toko-toko obat. Nia memang sembuh. Tapi, Jono tidak pernah mengerti bahwa Nia bergantung pada obat penghilang rasa nyeri tersebut. Sehari Nia bisa mengonsumsi hingga tiga kali. Padahal, yang tertulis dalam kemasan obat tadi menjelaskan konsumen hanya boleh mengonsumsinya sekali sehari. Bila sakit berlanjut, konsumen disarankan pergi ke dokter. Sudah dua minggu di rumah sakit, ketika Nia secara khusus memanggil si suami, “Aku minta Mas Jono mengajak Kenanga kemari. Aku ingin bertemu. Ada sesuatu yang ingin kusampaikan kepada dia. Juga Mas Jono.” (bersambung)
Sumber: