Langit Hitam Majapahit – Menuju Kotaraja (5)

Langit Hitam Majapahit – Menuju Kotaraja (5)

Di tempat lain, Ken Banawa mendapatkan keterangan dari petugas sandi yang melaporkan, bahwa ada seorang petugas yang melihat orang dengan ciri-ciri seperti yang dimiliki Prana Sampar. Petugastersebut mengatakan bahwa Sampar telah berada di sekitar Alas Cangkring sejak tiga hari lalu. Berbekal laporan itu, Ken Banawa dan Bondan segera melakukan perjalanan ke arah barat dengan menunggang kuda. Keindahan alam yang dilewati mereka berdua serta kesejukan udara telah mengalihkan perhatian Bondan, meski untuk sekejap. Ken Banawa yang memahami semangat anak muda ini hanya menghela napas. Ia mengetahui bahwa di Alas Cangkring ada orang berkepandaian tinggi dan sulit dipadankan dengan orang kebanyakan. Sementara ia sendiri belum sepenuhnya mengetahui kedalaman ilmu yang dimiliki Bondan, maka Ken Banawa bergelayut resah sepanjang perjalanan. Meski begitu, Ken Banawa sudah memperhitungkan kemungkinan paling buruk. Jika dugaannya benar maka esok hari mereka akan bertemu dengan Mpu Gemana. Orang ini mendapat perhatian penuh dari Ken Banawa. Ia mampu meloloskan diri dari sergapan pasukan khusus yang dipimpin oleh Ken Banawa ketika menumpas kawanan penyamun di Selopuro. Sementara itu, setelah menempuh perjalanan panjang, keduanya segera mendekati tepi hutan Alas Cangkring. Namun sebelum itu Ken Banawa dan Bondan harus melewati  sebuah padukuhan yang tidak begitu besar. Tanpa mereka ketahui ternyata ada sepasang mata telah mengikuti keduanya sejak keluar dari gerbang kota. Tidak sulit baginya untuk mencari keberadaan Bondan dan Ken Banawa di wilayah pedukuhan. Ia dimudahkan karena pakaian keduanya memang berbeda dari kebanyakan orang yang berlalu lalang di jalanan padukuhan. “Keterangan itu memang benar. Bondan. Selain namanya mudah diingat, ciri pakaiannya dan gerak geriknya begitu kentara. Ia memang bukan seorang prajurit atau setidaknya memang tidak pernah melakukan penyamaran,” gumam orang itu ketika melihat seorang pengawal padukuhan memberikan hormat pada Ken Banawa. “Mpu Gemana dan Prana Sampar harus segera mengetahui perkembangan ini.”   ”Bondan, kita beristirahat dulu malam ini. Kita akan masuk ke hutan sebelum fajar esok hari,” kata Ken Banawa. ”Tidak, Paman. Saya akan berangkat malam ini sehingga esok pagi sudah menemukan Prana Sampar,” Bondan menolak tegas. “Bondan, Prana Sampar tidak sendirian. Selain itu kedalaman hutan akan menjadi bahaya tersendiri bagi kita. Harusnya kau mengetahui bahwa Prana Sampar adalah murid tunggal Mpu Gemana. Seseorang yang terkenal sangat mahir memainkan rantai bermata tombak kembarnya,” ucap Ken Banawa. Ia menambahkan, “Paman mendapatkan bukti jika Mpu Gemana inilah yang melakukan pembunuhan beberapa pengawal yang menjaga gudang hasil panen raya. “Dari berbagai laporan yang aku terima, maka dapat aku katakan padamu bahwa Mantri Rukmasara sebenarnya menyuruh Mpu Gemana untuk mengambil beberapa ratus kati, namun karena Mantri Rukmasara ketakutan perbuatannya diketahui oleh Sri Jayanegara maka disuruhlah Ki Curik Kemba untuk mencari dan membunuh Mpu Gemana. Hingga akhirnya Curik Kemba harus mati di tangan Mpu Gemana yang juga anggota dari kawanan Ki Cendhala Geni.” “Siapakah Ki Cendhala Geni itu, Paman?” Bondan bertanya dengan sorot mata yang menyiratkan rasa ingin tahu yang besar. “Kelak kau akan tahu. Asal engkau tidak gegabah dan memandangnya sebelah mata karena Ki Cendhala Geni adalah orang yang benar-benar sulit dicari tandingannya. Hampir semua orang di daerah selatan sudah merasakan kengerian hanya mendengar namanya,” jawaban Ken Banawa makin mengundang hasrat Bondan untuk mengetahui lebih jauh. Gelapnya malam yang bermandikan gerimis pun mendekap  padukuhan semakin erat. Kabut tipis turun seperti selimut dingin yang menutup rapat setiap pori-pori. Awan berarak menutupi rembulan yang berusaha untuk tersenyum. Bondan beranjak dan keluar dari bilik penginapan, diikuti Ken Banawa yang berjalan cepat sambil memeriksa busur dan panahnya. Keduanya melintasi jalanan menembus malam yang pekat dibawah rintik hujan yang tipis membasahi bumi. Langkah lebar diayun cepat saat mereka melangkah keluar dari padukuhan. Sejenak kemudian keduanya melihat nyala api di tepi hutan. Ken Banawa memutuskan untuk mendekati nyala api dengan mengendap. Semakin mendekati lingkaran api terlihat dua orang sedang duduk menghadap api unggun dengan berteduh di gubuk kecil. “Ah, rasanya ada yang mengawasi kita, Sampar,” desah perlahan Mpu Gemana yang sedang berusaha menajamkan pendengarannya untuk membedakan langkah kaki dan jatuhnya air hujan. “Aku tidak mendengar apa-apa, Mpu.” “Diamlah! Ada dua orang. Mereka ada di belakang kita. Siapkan pasakmu!” bisik Mpu Gemana sambil memberi tanda ke sasaran yang akan dituju. Sampar menyiapkan senjata rahasianya dan melihat lekat ke Mpu Gemana agar ia tidak terlambat membidik dalam kegelapan. Mpu Gemana memberi tanda untuk Sampar agar menahan serangan. “Mereka semakin dekat, Sampar... Sekarang!” perintahnya. Sampar melontarkan beberapa pasak yang beracun ke arah yang ditunjukkan Mpu Gemana. Sejumlah paku melesat cepat menembus gelap malam. Bondan menyadari datangnya bahaya ketika melihat gerakan kilat yang dilakukan seseorang yang berada di depan api unggun. Dengan kecepatan yang kurang lebih sama, Ken Banawa melempar tiga atau lebih anak panah menyambut senjata rahasia yang meluncur deras ke arah mereka berdua. Dalam waktu kurang dari sekejap, terdengar dentang benda beradu, kedua senjata bertumbuk di udara dan sempat terpecik api ketika ujung-ujung senjata beradu. Seseorang dari sekitar api unggun pun melompat cepat menyerang pengintainya. Bersamaan dengan itu, penyerang memutarkan senjatanya yang menimbulkan suara gemerincing. Bondan segera melepaskan ikat kepalanya untuk menerima serangan pertama yang ditujukan padanya. Ken Banawa memperlihatkan kecemasan atas keselamatan Bondan. Pada malam itu, Ken Banawa belum mengetahui perkembangan olah kanuragan yang dimiliki Bondan. Maka menjadi wajar jika ia mempunyai kekhawatiran karena ia sudah hafal dengan suara senjata yang berputar itu. Sebuah rantai bermata runcing milik Mpu Gemana. Namun sebelum ia memperingatkan agar Bondan lebih waspada, sebuah tendangan dengan deras dan bertenaga nyaris mengenai dadanya. Terpecahnya perhatian Ken Banawa telah menjadikannya lengah dan tidak sadar jika tumit Prana Sampar nyaris menghantam ulu hatinya. Udeng atau ikat kepala yang dikibaskan Bondan membelit rantai yang berujung mata tombak milik Mpu Gemana. Tak pelak lagi, pertarungan terjadi Iantara keduanya dalam jarak dekat. Mpu Gemana kesulitan melepaskan rantai yang salah satu ujungnya terbelit udeng Bondan. Bondan begitu lihai memutar berlawanan arah setiap kali Mpu Gemana berupaya melepaskan belitan. “Aku kagum kepadamu, Anak Muda! Engkau mampu membelit ujung senjataku ini. Tetapi sayang engkau tidak akan dapat lagi melihat senja esok hari.” Mpu Gemana menyerang Bondan semakin hebat sementara Bondan telah mengerahkan segenap daya kekuatan yang dimilikinya. (bersambung) [penci_related_posts dis_pview="no" dis_pdate="no" title="Baca Juga" background="" border="" thumbright="no" number="8" style="list" align="left" withids="112712, 112894, 113534, 113738, 114210, 114613, 114659" displayby="recent_posts" orderby="title"]      

Sumber: