Kejaksaan Era Revolusi Industri

Kejaksaan Era Revolusi Industri

Oleh: Arief Sosiawan Pemimpin Redaksi Hari ini, 59 tahun lalu, Kejaksan Republik Indonesia merayakan hari jadi. Sepanjang usia itu, banyak prestasi diukir kejaksaan dengan indah. Meski banyak pula menuai kritikan. Bahkan, cap buruk tak jarang melekat di wajah lembaga ini akibat ulah bobrok oknum-oknum jaksa nakal. Itu sebenarnya merupakan hal biasa, karena dinamika hukum di negara ini selalu bicara demikian. Yang jelas, dari beberapa referensi, kejaksaan disebut lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara secara merdeka. Terutama, dalam pelaksanaan tugas dan kewenangan di bidang penuntutan tindak pidana korupsi, pelanggaran HAM berat, serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang. Kejaksaan di tingkat pusat dipimpin seorang jaksa agung, di tingkat provinsi dikendalikan seorang kepala kejaksaan tinggi, dan di kota/kabupaten oleh kepala kejaksaan negeri. Selain tiga pemimpin itu, masih ada kejaksaan negeri tertentu yang disebut cabang kejaksaan negeri. Lembaga tingkat ini dipimpin kepala cabang kejaksaan negeri. Dari catatan sejarah, kejaksaan ada sejak zaman kerajaan Hindu-Jawa. Tepatnya sejak Kerajaan Majapahit. Kala itu, istilah kejaksaan disebut dhiyaksa, adhyaksa, atau dharmadhyaksa yang diambil dari dari bahasa Sansekerta. Peranan kejaksaan sebagai satu-satunya lembaga penuntut secara resmi difungsikan kali pertama sejak zaman pendudukan Jepang, yang kemudian diganti Osamu Seirei No 3/1942, No 2/1944, dan No 49/1944. Eksistensi kejaksaan itu berada pada semua jenjang pengadilan, yakni sejak Saikooo Hooin (pengadilan agung), Koootooo Hooin (pengadilan tinggi), dan Tihooo Hooin (pengadilan negeri). Pada masa itu, secara resmi digariskan bahwa kejaksaan memiliki kekuasaan untuk mencari (menyidik) kejahatan dan pelanggaran, menuntut perkara, menjalankan putusan pengadilan dalam perkara kriminal, dan mengurus pekerjaan lain yang wajib dilakukan menurut hukum. Begitu Indonesia merdeka, fungsi seperti itu tetap dipertahankan dalam Negara Republik Indonesia. Hal itu ditegaskan dalam Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, yang diperjelas oleh Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 2 Tahun 1945. Isinya mengamanatkan bahwa sebelum Negara RI membentuk badan-badan dan peraturan negaranya sendiri sesuai dengan ketentuan undang-undang dasar, maka segala badan dan peraturan yang ada masih langsung berlaku. Karena itu, secara yuridis formal Kejaksaan RI telah ada sejak kemerdekaan Indonesia diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. Dua hari setelahnya, tepatnya 19 Agustus 1945, dalam rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) diputuskan kedudukan kejaksaan dalam struktur Negara Republik Indonesia, yakni dalam lingkungan departemen kehakiman. Kemudian, melalui rapat kabinet pada 22 Juli 1960, diputuskan bahwa kejaksaan akan menjadi departemen. Hasil rapat tersebut tertuang dalam Surat Keputusan Presiden RI 1 Agustus 1960 No 204/1960, terus disahkan menjadi UU No 15 Tahun 1961 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kejaksaan Republik Indonesia. Nah, sejak rapat itulah setiap 22 Juli selalu dirayakan hari Adhyaksa hingga kini. Dari panjangnya sejarah kelahiran kejaksaan, tentu ujung dari yang paling ujung persoalan hukum di negara ini adalah kebenaran dan keadilan yang selalu jadi tuntutan. Tuntutan masyarakat yang mencari keadilan, meski tak jarang pula kita dapati masyarakat merasa tidak mendapatkan keadilan. Jadi, di era revolusi industri seperti saat ini, atau orang menyebut era four point zero (4.0) di mana kejahatan makin menyeruak akibat kecanggihan teknologi, keadilan tetaplah keadilan. Tak perlu harus berubah dan diubah menjadi yang lain-lain untuk mengartikannya. Apalagi, pada perayaan tahun ini kejaksaan mengakat tema “tingkatkan pengabdian demi kemajuan, keunggulan, dan keutuhan negeri”. Maka, siapa pun orang yang berprofesi jaksa haruslah tetap profesional, mengedepankan keadilan demi keutuhan negeri. Dan, lembaga kejaksaan tetaplah sebagai lembaga penegakan hukum terdepan yang mampu mengayomi kepentingan masyarakat atas kebenaran hakiki. Happy birthday Adhyaksa.(*)

Sumber: