Angka Kematian Ibu Melahirkan Terus Bertambah

Angka Kematian Ibu Melahirkan Terus Bertambah

SURABAYA - Angka kematian ibu melahirkan akibat plasenta akreta terus bertambah.Berdasar data dari RSUD dr Soetomo menyebutkan tingginya angka plasenta akreta selalu mengalami kenaikan tiap tahun. Pada 2015, ada tujuh kejadian, selanjutnya 2016 meningkat menjadi 27 kejadian. Kemudian 2017, meningkat dua kali lipat lebih yakni 60 kejadian, dan 2018 menjadi 71 kejadian. Dalam kasusnya, plasenta akreta menjadi salah satu masalah kehamilan serius karena bisa membahayakan nyawa penderita. Dosen sekaligus dokter Fakultas Kedokteran (FK) Unair-Dr Soetomo, dr Rozi Aditya Aryananda menyebutkan, kasus ini mulanya sangat jarang terjadi. Tahun 2013 hanya terdapat satu kasus, dan kemudian meningkat dari tahun ke tahun. Hingga kini, literatur khusus yang membahas soal plasenta akreta masih banyak kontroversi. Munculnya kejadian ini, kata dia, mengubah konsep-konsep kodokteran yang selama ini diyakini oleh para dokter di bidang kebidanan dan ginekologi atau disebut obgyn. Kejadian plasenta akreta membahayakan nyawa karena dalam kejadiannya dapat menghabiskan darah ibu hamil hingga berliter-liter. Normalnya, operasi kehamilan menghabiskan darah 500 cc hingga 1 liter. Dalam kasus plasenta akreta ini, ibu dapat kehilangan darah berkali lipat lebih banyak. Operasi plasenta akreta yang pernah ditangani tim dokter Rozi (tim plasenta akreta) di RSUD dr Soetomo mencatat, seorang ibu hamil dapat menghabiskan darah hingga 21 liter. Padahal, tubuh manusia hanya menampung kurang lebih enam liter darah. Membaca situasi ini, dokter Rozi melihat dengan pendekatan berbeda. Sejak bertemu seorang profesor anatomi dari Argentina pada 2016, dia terus mempelajari kasus dan belajar anatomi secara mendalam. Bersama profesor itu, Rozi lantas mencoba melakukan operasi dengan pendekatan yang berbeda. Hasilnya, cukup menjanjikan. "Pendarahan yang biasanya menghabiskan berliter-liter darah itu, bisa kita tekan menjadi hanya seliter," tegas dokter Rozi. Dalam pendekatan baru itu, tim plasenta akreta melakukan operasi dengan mencari pembuluh darah terlebih dahulu satu per satu dan melakukan pengontrolan. Sehingga, plasenta yang akan diambil sudah dalam kondisi pembuluh darah yang semua terkontrol. "Pada kasus ini (plasenta akreta, Red) konsep operasi yang sejak dulu biasa dilakukan bisa sangat berbahaya. Banyak pembuluh darah baru yang terbentuk akibat plasenta akreta dan sangat sulit diatasi apabila terjadi perdarahan. Anda bayangkan darah keluar seperti air keluar dari dalam selang," papar dia. Kasus plasenta akreta, kata Rozi, menyebabkan kematian yang tinggi karena pendarahan yang tidak terkontrol. Dia dan tim mencoba melakukan pendekatan operasi untuk meminimalkan pendarahan. Selain teknik operasi, Rozi dan tim juga mengembangkan teknik diagnostik terbaru yaitu memprediksi sejauh mana plasenta akan keluar. “Teknik diagnostik ini bisa memprediksi sebuah operasi yang berbahaya,” terang dia. Dari berbagai observasi yang dilakukan Rozi, didapatkan data bahwa plasenta akreta paling sering terjadi pada ibu yang sudah pernah mengalami operasi bersalin. Selama ini operasi persalinan bayi telah lama dilakukan sebagai metode mengeluarkan bayi dari rahim. Dia dan tim kini sedang mencari tahu jawaban atas hal tersebut. (alf/be)

Sumber: