Teklek Kecemplung Kalen (2-habis)
Istri Dihamili Sahabat Partai
Mendengar pengakuan Nindi, tentu saja Zaenal kaget. Mana mungkin Nindi bisa hamil kalau dirinya mandul? Zaenal kalut. Toh begitu dia menyembunyikan perasaannya, bahkan berusaha menampakkan kegembiraan. Dirangkulnya Nindi erat-erat tapi sambil berpikir, “Mana mungkin?” Penasaran, Zaenal bergegas konsultasi ke dokter: mungkinkah istrinya bisa hamil, padahal dia mandul? Meski jawabannya sudah bisa ditebak, Zaenal tetap kaget mendengar dokter berkata, “Tidak.” Pertanyaannya sekarang: siapa yang menjadikan Nindi hamil??? Pikiran Zaenal langsung tertuju kepada Fadlul. Tapi, mungkinkah? Lantas, kalau bukan dia, siapa lagi? Sebab, selama ini Nindi tidak pernah berteman akrab dengan lelaki lain selain Fadlul. Zaenal bingung. Stres. Depresi. Kalau memang Fadlul yang bikin Nindi hamil, apa yang harus dia lakukan? Yang jelas, tidak mungkin menanyakan kebenaran soal ini kepada Nindi. Juga kepada Fadlul! Menyelidiki kebersamaan mereka? Ah. Tapi kalau memang itu terpaksa harus dilakukan, Zaenal bertekad akan melakukannya sendiri. Tidak melibatkan orang lain. Sebab, kalau nantinya memang terbukti benar, hal itu hanya akan membuka aib keluarga. Setelah mempertimbangkan banyak hal, Zaenal akhirnya memutuskan turun sendiri untuk mencari jawaban. Sehari-dua hari, Zaenal belum melihat tanda-tanda kedekatan Nindi dan Fadlul yang mencurigakan. Mereka bertemu sewajarnya saja. Itu pun selalu ada Zaenal. Seminggu-dua minggu, tidak ada tanda-tanda mencurigakan. Bahkan menginjak bulan ketiga, tanda-tanda itu tidak terlihat. Kembali Zaenal menemui dokter. Mempertegas bahwa dia benar-benar tidak mungkin membuat Nindi hamil. Dokter memahami kegalauan Zaenal. Maka, dia menyarankan Zaenal untuk mengetes DNA si baby. “Ajak saja istri Anda ke sini. Selanjutnya urusan saya. Tak usah khawatir, dia tidak akan tahu kalau Anda meragukan kehamilannya. Tenang saja,” kata dokter meyakinkan Zaenal. Zaenal menyanggupi membawa istrinya bertemu dokter. Beberapa hari setelah itu, Zaenal dipanggil dokter. Dijelaskan bahwa kecurigaan Zaenal benar: anak itu bukan darah dagingnya. Untuk meyakinkan dugaannya, beberapa hari kemudian Zaenal membawakan rambut Fadlul untuk dites DNA. Dokter sepakat. Ternyata hasil tes DNA keduanya cocok! Klop! Zaenal tidak langsung mengonfirmasikan hasil tes tadi kepada Nindi, melainkan terlebih dulu ke Fadlul dan mencercanya dengan pertanyaan ini, “Benarkah bayi yang dikandung Nindi itu anakmu?” Fadlul diam. Hanya tolah-tolah seperti tulup dikethek. Maaf, kethek ditulup. “Ya. Mungkin,” jawabnya kemudian. Lirih. Agak ragu. “Mungkin?” bentak Zaenal. “Bukankah Nindi istrimu?” imbuh Fadlul. Masih lirih. Mendengar itu, Zaenal langsung mendaratkan pukulan keras ke rahang kiri Fadlul. Yang dipukul diam saja, meski darah segar mengalir di ujung bibir. “Sudah tahu dia istriku, mengapa kau tega berkhianat?” Kembali pukulan telak menghantam rahang kanan Fadlul. Kali ini Fadlul tidak mampu bertahan. Tersungkur di lantai dan mengerang. “Akhirnya kuputuskan meninggalkan Nindi,” kata Zaenal. Ia menambahkan bahwa beberapa bulan kemudian dia mendengar kabar Karlina, cinta pertamanya, kebetulan ditinggal mati suaminya. Terkena serangan jantung. “Mungkin dia jodohku,” kata Zaenal. “Cinta kedua di usia senja,” imbuhnya, disambung tawa. (jos, habis)Sumber: