Bunga Tanda Cinta untuk Bunga Itu Jatuh Berantakan
Oleh: Yuli Setyo Budi, Surabaya Puri awalnya menduga Seli berlari dari arah kamar Jatmiko. Tapi saat video yang gambarnya putus-putus tadi dicermati, sepertinya tidak. Jadi, kalau tidak dari kamar Semi ya kamarnya. Karena akhirnya diyakini tidak mungkin dari kamarnya, dipastikan Seli dari kamar Semi. Pasti! Haqqul yaqin pasti. Puri termenung. Betapa nelangsanya dia bila kedua anak laki-lakinya benar-benar menjadi korban asusila saudara sepupunya sendiri. Lelaki berkumis tipis ini tak berani membayangkan lebih jauh. Layar komputer di kantor itu terus dipelototi. Kesimpulannya tetap: Seli berlari dari arah kamar Semi. Tidak mungkin dari kamarnya. Untuk apa? “Memang bisa saja dari kamarku. Mungkin usai memijat Bunga. Tapi, ya masak tanpa baju? Khayal.” Puri tersenyum kecut. Seasam perasan air lemon dicampur jeruk nipis. Kecut dan pengar. Kejadian sepekan lewat itu coba dihapus dari memori di kepala Puri. Tidak mudah, namun akan terus dipaksakan. Untuk menenangkan jiwa, Puri meninggalkan kantor untuk sekadar kya-kya keliling kota. Untuk mencuci otak. Untuk men-delete bayangan-bayangan buruk yang menghantui. Tanpa disengaja mobil Puri mengarah ke Pantai Kenjeran lama. Nggak papa. Dia turun, membeli karcis, dan masuk. Sepatunya dicopot, terus dicangking tangan kiri. Tangan kanannya yang memegang ranting pohon kering dikais-kaiskan ke pasir. Puri teringat masa kecilnya pada tahun 70-an diajak ayahnya ke tempat ini dan naik perahu wisata. Dia sempat muntah diterpa embusan angin laut yang kering namun lumayan menyegarkan. Dia juga teringat pada tahun 2000-an ganti dirinya yang mengajak anak-anaknya, Semi dan Jatmiko, ke tempat tersebut. Jatmiko sempat tenggelam ketika bermain di pantai dan tidak sengaja meminum air laut. “Betapa indahnya waktu-waktu itu,” kata hatinya. Puri tidak pernah menyangka pada saat dewasa, kedua anaknya terjerat jaring-jaring maksiat yang ditebarkan sepupu mereka sendiri. Andai tidak terselamatkan keadaan, bukan tidak mungkin dirinya sendiri juga masuk jebakan tersebut. Dalam perjalanan kembali ke kantor, Puri menghidupan radio di mobil. Wijaya FM. Pembawa acara membacakan kiriman WA yang dikirimkan pendengar: ucapan selamat ulang tahun kepada sahabat. Mendengar itu, Puri seolah diingatkan bahwa hari itu bertepaan dengan ulang tahun Bunga. Astaga. Puri lantas membelokkan mobilnya pulang, setelah terlebih dulu mampir Kayoon untuk membeli bunga. Tanda cinta untuk Bunga. Jam digital yang menempel di pergelangan lengan kiri Puri menunjukkan pukul 11.14. Masih ada waktu untuk mengajak Bunga makan siang di restoran langganan kesukaan istrinya. Surprise…! Saat itu Seli, Semi, dan Jatmiko sedang kuliah. Jadi, tidak bakalan ada yang mengganggu rencana Puri memberikan kejutan untuk Bunga. Puri memarkirkan kendaraan agak jauh dari rumah. Dia kemudian berjalan kaki. Kebetulan pintu depan tidak terkunci, sehingga kedatangannya tidak membuat gaduh. Dia berjinjit ketika hendak membuka pintu kamar. Puri bersiap membukanya dan secara bersamaan akan berteriak, “Surprise.” Tangannya lantas memutar handle pintu dan mendorongnya. Namun ketika mulutnya hendak dibuka, Puri dikejutkan pemandangan di depannya: Bunga dan Seli sedang bergelut mesra. Polos-los-los-los… “Itulah yang ingin aku ceritakan, sebelum aku membulatkan tekad ke pengadilan agama,” pungkas Puri. Bunga yang dibawanya pun jatuh ke lantai. Berantakan. (habis)
Sumber: