Berpakaian Tipis, Lekuk Tubuh Seli Menimbulkan Sejuta Gairah

Berpakaian Tipis, Lekuk Tubuh Seli Menimbulkan Sejuta Gairah

Oleh: Yuli Setyo Budi, Surabaya Puri tidak bisa berkutik ketika Seli mendudukkan di tepi ranjang. “Om benar-benar masuk angin, ya? Keringatnya dingin banget tuh. Mengalir deras kayak air terjun Madakaripura,” kata Seli lirih. “Celananya sekalian dilepas ya, Om. Biar nggak basah,” bisik Seli sambil berbalik badan menutup pintu kamar. Ketika kembali dan melihat Puri hanya diam mematung, Seli tersenyum, “Om manja deh. Masak melepas celana sendiri saja gak bisa. Kok kayak si Otong. Sini Seli lepaskan.” Puri merasakan tubuhnya semakin kaku. Kaku-ku-ku-ku. Persendiannya ngilu. Bak engsel kekeringan. Kala Seli mencoba membaringkan dan mendekatkan diri untuk meraih punggung pamannya tersebut, Puri sudah tidak tahan. Bau wangi Classique by Jean Paul Gaultier menyeruak halus masuk hidung dan menyentuh tepian saraf otaknya. Puri merasa seolah digendong berjalan di tengah taman berjuta bunga. “Diminum dulu Om. Biar hangat,” kata Seli membuyarkan lamunan Puri. Dia melihat keponakan istrinya tersebut menyodorkan cangkir kecil ke bibirnya. Puri spontan memundurkan kepala. Menjauhkan cangkir tadi dari mulutnya. Dia tidak ingin otaknya dirusak minuman aneh seperti beberapa hari lalu. Makanya ditolaknya meminum air di cankir tadi dengan berbagai cara, Puri berkata tegas, “Sudah, jangan ganggu Om lagi.” “Ini minuman biasa Om. Wine asli Prancis.” “Jangan. Nggak boleh, Seli.” “Ya sudah kalau Om nggak mau. Minum obat ini saja. Obat masuk angin,” kata Seli sambil mengambil sesuatu dari tas yang dia geletakkan di tepi tempat tidur. Sebuah permen berbungkus plastik warna cokelat. Puri mencoba membaca merek bungkusan perman obat masuk angin tadi. Tidak tampak. Tertutup jempol Seli. Hanya tampak bagian akhirnya: oco. Puri kembali menolak. “Tidak usah Seli. Kamu kembali saja ke kamarmu. Om sudah baikan.” “Kalau Om memaksa, baiklah Seli akan kembali ke kamar. Tapi minum ini dulu agar badan Om agak enakan,” kata Seli sambil menyodorkan permen cokelat di tangannya ke mulut Puri. Kali ini Puri tidak menolak. Dia berpikir yang diberikan Seli sebangsa permen jahe yang memang manjur untuk mengatasi masuk angin. “Ini sebangsa permen jahe kok Om. Cuma rasa cokelat,” kata Seli seperti menebak pikiran yang berkelebat di benak Puri. “Dipakai tidur-tiduran saja, Om. Istirahat,” kata Seli, “Nggak jadi dikerokin atau dipijat nih?” Puri menggeleng sambil mengambil bajunya yang kadung terlepas. Dikenakan kembali. Dia sempat membatin, dungaren Seli bersikap baik. Dipandanganya gadis itu menjauh. “Pintunya jangan ditutup ya Om. Seli khawatir Om benar-benar sakit. Kalau terjadi apa-apa supaya gampang masuk,” kata Seli dari depan kamarnya. Dia melemparkan senyum sebelum menghilang masuk. Puri segera berbaring setelah menutup pintu. Dan menguncinya. Permintaan Seli tidak dihiraukan. “Alhamdulillah berhasil menjauhkan diri dari godaan,” batin lelaki yang mengaku memiliki dua motor besar ini. Dicobanya memejamkan mata. Tidak bisa. Akhirnya Puri duduk di kursi depan kamar. Menikmati embusan angin dari plafon yang dibangun terbuka di ruang tengah. Sudah hampir setengah jam Puri seperti itu. Ketika mencoba memejamkan mata, tiba-tiba didengarnya suara Seli, “Om kok belum istirahat?” Ternyata Seli sudah berdiri di depannya. Memandang tajam. Balutan pakaian tidur tipis memperliatkan lekuk-lekuk tubuhnya yang wow-wow-wow. Entah mengapa, kali ini Puri melihat pemandangan itu teramat sangat menggairahkan. Setiap gerakan Seli menyebabkan gairahnya terpompa semakin menggelora. “Ayo masuk kamar, Om,” ajak Seli sambil menggandengan tangan Puri lembut. Puri bak bocah TK, menganut. (bersambung)  

Sumber: