Pemuda Islam Abangan Bingung Hendak Nikah vs Mualaf
Antoni (27, bukan nama sebenarnya) tidak bisa menyembunyikan kegundahan. Pupil matanya berkeliaran ke sana kemari. Tidak fokus. Brengosnya yang tebal—mirip sapu ijuk—bergerak-gerak naik turun. Kepada Memorandum yang duduk di sampingnya, dia bertanya, “Kalau mau tanya-tanya soal nikah, di sini atau di KUA ya?” tanyanya di ruang tunggu Pengadilan Agama (PA) Surabaya, Jalan Ketintang Madya, beberapa waktu lalu. “Memangnya yang mau menikah siapa?” “Aku.” “Oh… di sini bisa. Di KUA juga bisa.” Antoni menjelaskan bahwa dia berasal dari keluarga Islam, tapi Islam abangan. Istilah kerennya Islam KTP! Tidak pernah salat, apalagi puasa. Hidup mengalir begitu saja dari bayi. Mengucapkan dua kalimat syahadat saja, seingat Antoni, belum pernah. “Aku lahir di keluarga Islam. Itu saja yang menandai aku beragama Islam. Jadi, bagaimana ya?” kata pemuda semikekar ini. “Masalahnya?” Masalahnya, sahut dia, ya itu tadi. Ketidakpercayaan diri. Apalagi, perempuan yang bakal dia nikahi seorang mualaf dan berasal dari keluarga nonmuslim. Antoni ingin memperjelas: dalam pernikahan, mempelai putri kan harus ada walinya, yaitu ayah, atau paman, atau kakak laki-laki dst. Lha kalau calon istrinya itu nonmuslim, apakah walinya boleh dari golongan juga nonmuslim? Ada kakak calon istrinya yang mau jadi wali. Kalau tidak, bagaimana seharusnya? Antoni juga ingin tanya begini: dia selama ini kan masih Islam abangan. Adakah syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi orang-orang semacam dia sebelum menikah? “Pokoknya, banyaklah yang ingin aku tanyakan. Intinya, aku tak ingin pernikahan kami tidak sah. Percuma saja kan kalau tidak sah? Sudah repot-repot, ternyata gak berfaedah.” Antoni menjelaskan, calon istrinya, sebut saja Kristi (26), diperkenalkan temannya yang aktif mengikuti pengajian di Masjid Al-Falah. Dia juga seorang mualaf yang baru setengah tahun mendapat hidayah. Antoni sendiri baru menyadari ke-abangan-an Islamnya dari temannya itu. Walau begitu, dia malu bertanya soal tetek bengek soal keagamaan kepada dia. “Soalnya, di hadapan dia, selama ini aku menampilkan diri seperti orang yang paham tentang Islam, walau setiap diajak beribadah bersama, aku selalu menghindar.” Pernah suatu kali Antoni dipaksa temannya itu mengimami salat Magrib di kantor. Dia didorong-dorong maju. “Lha mana mungkin aku jadi iman? Wong cara salat saja tidak mengerti, apalagi bacaan-bacaannya. Aku langsung surut ke belakang jadi makmum. Sejak itu aku selalu menghindar setiap dekat waktu salat.” Antoni berjanji bakal menekuni Islam setelah menikah nanti. Agar tidak seperti bapaknya yang tidak membimbing anak-anak dan istri dalam beragama. Agar mampu menjadi wali ketika putrinya menikah nanti. Agar memiliki bekal saat menghadap sang Khaliq sesudah mati. “Aku tak ke kantor depag saja,” katanya sambil bangkit dari duduk dan berniat meninggalkan tempat. “Di depan Al-Akbar ya?” tanyanya, “Aku tak ke sana dulu.” Memorandum hanya bisa lholak-lholok memandang Antoni melangkah ke tempat parkir kendaraan, (jos)
Sumber: