Berniat Pulangkan Seli, Malah Kembali Ditawari Masuk Kamar
Oleh: Yuli Setyo Budi, Surabaya Pikiran Puri buntu. Kalau melihat gerak-gerik Jatmiko pada beberapa hari terakhir, tidak tertutup kemungkinan anak tersebut benar-benar sudah masuk dalam jebakan nikmat Seli. “Apa yang kini harus kulakukan?” pikir Puri. Puri akhirnya memutuskan berdiam diri di dalam kamar. Ngendon kayak oli bekas. Dia takut bertemu Seli dan kembali ditantang masuk kamarnya. Kalau itu sampai terjadi, Puri tidak bisa membayangkan kelanjutan ceritanya. Di satu sisi, dia tidak menyukai gadis itu karena telah mengganggu rumah tangganya; di sisi lain, tidak bisa dipungkiri, lelaki penghobi burung kicau ini takut tidak mampu mengontrol nafsunya menghadapi Seli. Walau masih keponakan, tingkah laku pemilik bodi wow-wow-wow ini sangat-sangat-sangat teramat menggoda sekali. Hemmm. Puri tahu Seli beberapa kali melintas di depan kamarnya. Wira-wiri seperti sepur langsir. Puri tidak peduli. Lepas azan Zuhur, dia mengintip dari celah jendela. Tampak Seli berjalan menuju kamar Semi. “Waduh, apa yang hendak dia lakukan?” pikir Puri. Tidak lama kemudian terlihat Semi membukakan pintu dan hendak melangkah keluar. Tapi, gerakannya kalah cepat. Seli terlebih dulu berhasil mendorong Semi masuk kamar dan menutup pintu. “Apalagi ini? Masak Jatmiko sudah diembat, kini giliran kakaknya disikat pula?” kata hatinya. Puri terus mengawasi pintu kamar Semi. Berharap daun pintunya terbuka dan Seli melangkah keluar. Tapi ditunggu 10 hingga 20 dan 30 menit, yang diharapkan tidak juga terjadi. Puri penasaran dan takut apa yang dikhawatirkan terjadi: Semi dimainkan Seli. Lelaki berbadan kekar walau sudah memasuki usia pralansia ini lantas melangkah keluar kamar. Pelan-pelan mendekati kamar Semi. Telinga kanannya ditempelkan ke dinding pintu, tidak terdengar apa-apa; mata kirinya didekatkan ke lubang kunci, tidak terlihat apa-apa. “Lantas, apa yang dilakukan Seli dan Semi di dalam?” batin Puri. Puri hendak mengetuk pintu, tapi ragu-ragu. Pikirannya kacau. Dia kembali ke kamar sendiri dan mengunci pintu. Walau begitu, Puri tidak pernah melapaskan pandangan ke arah kamar Semi. Sekali lagi dia berharap pintu kamar tersebut terbuka dan Seli keluar. Ternyata yang diharapkan terjadi kembali meleset. Sudah lebih dari lima jam. Waktu Asar dan Magrib sudah lewat. Puri memastikan terjadi sesuatu yang dia takutkan. Kalau itu benar, berarti sudah dua lelaki di rumahnya telah dirusak Seli. “Haruskan aku hanya berdiam diri seperti ini?” berontak hati Puri. Jarum jam menunjukkan pukul sembilan lewat tiga belas. Sambil terus berpikir, Puri melihat Semi keluar dari kamar. Sendirian. Wajahnya kusut. Matanya merah. Tampaknya baru bangun dari tidur. “Lho, lha Seli mana? Ke mana? Di mana?” batin Puri. Dia berjalan mendekat dan mengawasi isi kamar Semi. Kosong. “Alhamdulillah ternyata apa yang aku khawatirkan tidak terbukti.” Malamnya Puri berpikir, “Sebaiknya Seli kukembalikan kepada orang tuanya di Madiun. Sebelum semuanya benar-benar berantakan.” Ketika sarapan keesokan harinya, Puri menyampaikan rencana pemulangan Puri di forum sarapan. Ternyata tidak mudah. Istri dan kedua anaknya menentang keras. Bunga mengaku selama ini Seli banyak membantu pekerjaan rumah tangga, Semi mengaku kasihan karena Seli belum menyelesaikan kuliah, Jatmiko yang alasannya agak nakal, “Wah, bakal tidak ada pemandangan indah lagi dong di rumah ini.” Puri melirik Seli. Gadis itu menahan senyum. Ketika membantu Bunga bersih-bersih meja makan, Seli sempat mendekati kursi Puri dan mendekatkan bibirnya ke telinga Puri, “Nanti malam kutunggu di kamar ya Om?” (bersambung)
Sumber: