Aji Santoso: Persebaya Tidak Main di Surabaya, Lucu

Aji Santoso: Persebaya Tidak Main di Surabaya, Lucu

Surabaya, memorandum.co.id - Persebaya sudah menjadi ikon di Surabaya. Jika nantinya Persebaya tidak bermain di Surabaya itu kan lucu. Ucapan ini terlontar dari Aji Santoso, mantan pemain Persebaya yang saat ini menjadi pelatih Persebaya Surabaya. Aji yang asli Kepanjen, Malang ini juga mengatakan, bahwa bagaimanapun juga Persebaya merupakan salah satu kebanggan masyarakat Surabaya. “Dari dulu seperti itu. Kota Surabaya kalau tidak ada Persebaya, ya kurang seru. Buat apa stadion bagus tapi tidak ada yang main,” ujar Aji, Rabu (21/4/2021). Tambahnya, dengan biaya sewa yang sangat besar itu untuk sekali memakai lapangan pertandingan, itu terlalu tinggi. “Menurut saya harus dicarikan jalan tengah. Jangan sampai semahal seperti itu,” tambah Aji yang bergabung ke Persebaya pada 1995 dan dipercaya ban kapten di Liga 1995-1996 ini. Di musim berikutnya, mantan pemain Arema ini mampu mempersembahkan gelar juara Liga Indonesia 1996-1997 bagi Persebaya dengan amanah kapten tim tersebut. “Alhamdulillah pilihan saya di Persebaya tidak salah. Selama di Persebaya saya menjadi kapten, menjadi juara 1997 dan juga menjadi langganan pemain nasional,” jelas Aji yang menceritakan awal bergabung dengan tim kebanggan warga Surabaya ini. Justru dengan kepindahannya ke Persebaya waktu itu, membantu Arema secara finansial. Karena apa, karena waktu itu transfer saya Rp 50 juta dan memecahkan rekor transfer pemain di Indonesia dan menjadi pemain termahal waktu itu. “Dengan uang transfer Rp 50 juta itu di zaman dulu, bisa untuk menggaji pemain Arema selama 6 bulan. Kepindahan saya, salah satunya membantu Arema masalah finansial,” jelasnya. Tambah Aji, karena kehidupannya di sepak bola, kepindahannya ke Persebaya itu untuk meniti karier menjadi pemain sepak bola setinggi mungkin. “Jadi kepindahan saya semata-mata sikap profesional saya yang ingin prestasi bagus lagi,” jelasnya. Namun, meski meningalkan tim kebanggaan warga Malang, tetapi Aji ketika menjadi pelatih membawa Arema juara Piala Presiden. “Sekarang saya juga pelatih di Persebaya. Bagai saya tidak ada masalah sepak bola ini sudah era profesional. Saat malatih di mana saja saya akan total, jadi sekarang pikiran saya, dan hati saya 100 persen buat Persebaya,” ujar Aji. Untuk stadion, Aji melihat keberadaan Gelora 10 November (G10N) sangat bersejarah dan salah satu ikon dari kebanggan masyarakat Surabaya. Bahkan, bagi tim lawan yang datang ke Surabaya bisa dikatakan stadion yang penuh angker. “Siapapun yang main di sana selalu mengalami tekanan yang luar biasa, dengan banyaknya suporter dan keangkeran stadion Tambaksari,” pungkas Aji. Sama halnya dengan Mat Halil, mantan pemain Persebaya yang disebut-sebut ‘titisan’ Aji Santoso ini. Pelatih SSB El Faza yang sekarang tinggal di kawasan Jambangan ini mengatakan, bahwa bangga menjadi bagian dari skuad tim Persebaya. “Semua anak-anak ingin bisa memperkuat Persebaya. Apalagi abah saya bonek, dan kemanapun Persebaya bertanding selalu menontonnya, termasuk saat tandang di Jakarta,” ujar Mat Halil mengawali pengalamannya ketika bersama Persebaya. Dari mengikuti seleksi junior, magang, hingga masuk Persebaya senior, posisi Mat Halil selalu berganti-ganti. “Saya sebenarnya striker. Tapi waktu seleksi di junior, akhirnya mengalah menjadi pemain sayap. Oleh penyeleksi, saya lebih cocok di posisi bek kanan. Tapi setelah masuk tim senior, berubah di posisi bek kiri,” jelasnya. Karena posisi yang ditinggalkan senior Aji Santoso ini, akhirnya Mat Halil pun dijuluki bonek sebagai jelmaan Aji Santoso. “Kebetulan nomor punggung saya sama yaitu 3. Ada guyonan yang pernah muncul, maine koyok Aji Santoso tapi angkatane koyok rumah sakit haji (mainnya seperti Aji Santoso tetapi umpannya mirip rumah sakit haji). Sebab Cak Aji, passing-nya bagus. Kalau saya terkadang bagus, juga kadang di belakang gawang,” cerita Mat Halil. Kalau dibilang grogi, Mat Halil membenarkannya. Sebab, ketika memperkuat Persebaya junior tidak ada yang menontonnya, tetapi begitu masuk senior dan bertanding di G10N, sempat grogi dilihat penonton satu stadion. “Pengalaman hidup yang tidak pernah saya lupakan sampai sekarang saat final melawan Persija tahun 2004 di Stadion Gelora 10 November. Waktu itu saya sempat gol bunuh diri, beruntung waktu itu ada gol balasan dari Luciano sehingga Persebaya menang 2-1. Saya sempat terpikir tidak bisa pulang atau mungkin tidak bermain di Persebaya lagi,” ujarnya. Untuk mengenang itu semua, Mat Halil pun mempunyai keinginan untuk menamai anaknya dengan nama Luciano (pria) dan Lusiana (perempuan). “Ini sebagai bentuk ucapan terima kasih, berkat gol dari Luciano itu akhirnya Persebaya juara,” tambahnya. Tambah Mat Halil, terkait retribusi sewa GBT yang tinggi itu, ia menyayangkan sebab akan membebani Persebaya dan tidak bisa main di Surabaya. “Saya sekali, apalagi situasi seperti ini, ke depan pertandingan tanpa penonton. Di mana kantong manajemen, apalagi kontrak pemain tinggi, beban sewa lapangan segitu, tanpa penontin pasti berat. Berharap Persebaya harus main di Surabaya. seperti dulu,” ujar pria yang mengantongi lisensi B AFC pelatih ini. (fer/udi)

Sumber: