Melihat Seli Keluar Kamar Mandi Hanya Berbalut Handuk

Melihat Seli Keluar Kamar Mandi Hanya Berbalut Handuk

Oleh: Yuli Setyo Budi, Surabaya Puri mengaku sudah cukup lama tidak bertemu Seli. Tiap ada pertemuan keluarga, Seli tidak pernah terlihat. Bahkan ketika acara digelar di rumah orang tua sendiri. Ada-ada saja alasannya. Tapi, kebanyakan Seli pamit ada show. Kurun terpisah cukup lama menyebabkan Puri terkaget-kaget ketika kembali bertemu Seli. Penampilannya benar-benar berbeda dibanding ketika Puri bertemu terakhir semasa Seli masih duduk di bangku kelas satu SMP. Kini penampilan Seli bak artis-artis ibu kota yang sering tampil di layar kaca. Cantik. Seksi. Berkulit putih bersih. Glowing. Mulus. Yang paling mengagetkan, Seli tampil sangat berani. Roknya super ketat sejengkal di atas lutut, bagian dada blouse-nya sangat rendah dan menampakkan belahan yang indah. Masih banyak wow-wow lain yang semakin wow dan wow. Gerak-gerik tubuhnya juga berbeda. Kalau dulu setiap pergerakan tubuh sesuai  dengan kebutuhan apa yang hendak dilakukan, sekarang gerak Seli ibarat mesin magnit yang berusaha menarik orang-orang sekitar mendekat dan menempel. Itu juga yang dirasakan Puri. Setiap berjumpa Seli, hatinya selalu tergerak untuk memandang tak berkedip dan berlama-lama di sisinya. Bahkan, ada keinginan kuat untuk mendekat, lebih mendekat, dan lebih mendekat lagi. Tapi, Puri sadar. Perasaan itu tidak bisa dibiarkan semena-mena. Pikiran semacam ini harus dihapus dari benaknya, diganti dengan pikiran-pikiran lain yang lebih baik. Tapi, semakin Puri berusaha untuk tidak berpikir yang aneh-aneh soal Seli, sisi lain di hatinya justru ingin meningkatkan kualitas kedekatannya. “Aku seperti orang gila,” aku Puri, yang sejenak kemudian disusul helaan napas panjang. Ketika Puri menyampaikan kepada istrinya agar mengingatkan Seli, lelaki yang tampak seperti keturunan Tionghoa ini malah ditertawakan. “Oala, dasar dosen peninggalan Orde Baru yang tidak baru. Kuno,” semprot istrinya. Istrinya malah memanggil Seli, lantas mengadu bahwa omnya keberatan atas gaya pakaian gadis cantik ini. “Om memang kuno. Makanya jangan jadi dosen, Om. Jadi pengusaha atau pejabat gitu lho,” respons Seli, menambah kegalauan di hati Puri. Lelaki paruh baya yang masih tampak sehat dan gagah ini akhirnya hanya bisa diam dan menelan pikiran-pikiran kotornya. Walau begitu, masih tersisa pikiran negatif tentang Seli. Jangan-jangan bukan hanya dirinya di rumah itu yang punya pikiran negatif soal Seli, melainkan juga kedua anak lelakinya yang menginjak dewasa. “Ah, sudahlah. Mudah-mudahan tidak,” tepis Puri. Ada satu kejadian yang sulit dihapuskan dari ingatan Puri. Suatu hari lelaki penghobi olahraga pagi ini senam di teras belakang rumah sebelum melangkahkan kaki berlari-lari kecil mengitari kompleks perumahan. Saat itu dia melihat Seli menutupi tubuhnya hanya dengan handuk kecil keluar dari kamar mandi. Dan sempat melirik ke arahnya. Kemudian tersenyum. Dan entah disengaja atau tidak, handuk kecil tadi terjatuh. Waduh. Bukannya bergegas mengambil, Seli malah melakukannya dengan slow motion. Seolah memberi kesempatan Puri memandanganya lebih lama dan menghayati. Puri spontan hendak membuka mulut untuk mengingatkan, tapi terburu melihat isyarat Seli menempelkan jari telunjuk di bibir. “Diam,” seolah berkata begitu.   (bersambung)  

Sumber: