Restoran Politik
Oleh: Dahlan Iskan Saya mampir ke restoran ini: yang heboh besar tahun lalu. Lantaran menolak juru bicara Presiden Donald Trump makan di situ. Sampai seorang presiden Amerika pun mengecam sebuah restoran. Sabtu sore kemarin saya memang harus lewat dekat kota itu. Kota kecil Lexington, Virginia. Dalam perjalanan darat dari Nashville, London, Knoxville dan rencana terus ke timur. Sudah kira-kira sejauh Medan-Surabaya. Saya sudah istirahat satu malam di Knoxville, Tennessee. Untuk satu urusan penting di dekat situ. Saya pikir urusannya cepat selesai. Pagi-pagi bisa berangkat ke Washington DC. Ternyata jam 11.00 baru bisa meninggalkan Knoxville. Tidak ada lagi kota besar antara Knoxville-Washington. Maksud saya: makan siangnya harus di mana? Mau mampir kota besar seperti Charlotte nyimpang-nya agak jauh. Dan lagi saya sudah sering ke situ. Demikian juga kalau hanya untuk makan siang di Greenville. Akhirnya saya ingat kota kecil Lexington. Kira-kira 300 km sebelum Washington DC. Dua hal yang mengingatkan saya ke kota ini. Jenderal Robert E. Lee meninggal di sini. Di tahun 1870. Yang kedua, pengusiran menteri juru bicara presiden itu. Jenderal Robert Lee (tidak punya darah Tionghoa) adalah tokoh makar. Tokoh separatis. Ia panglima perang 13 negara bagian selatan. Yang memproklamasikan diri memisahkan dari Amerika Serikat. Untuk membuat negara sendiri Confederate States of America. Meletuslah perang sipil yang sangat besar empat tahun (1861-1865). Akhirnya Jenderal Lee menyerah. Salah satu medan perangnya di sekitar Lexington ini. Ia tidak dihukum. Tidak dipenjara. Sampai meninggalnya di sini. Namanya diabadikan untuk sebuah universitas di situ: Washington and Lee University. Dari Knoxville saya nyetir tiga jam. Dengan kecepatan hampir konstan 130 km/jam. Lalu istirahat sebentar di rest area. Untuk ke toilet dan merebahkan diri di kursi beton. Lima menit. Saya lihat jam: sudah jam 14.00 waktu timur. Belum makan siang. Tapi di mana? Yang tidak sekedar mengisi perut? Yang sekalian ada manfaat lain? Kalau terus ke Washington pun sebenarnya masih kuat. Kan baru saja puasa Ramadan. Tapi kira-kira jam 21.00 baru akan sampai Washington. Berarti akan 7 jam di jalan. Kian ke Timur lalu-lintas kian padat. Maka saya putuskan mampir ke Lexington. Hanya tiga kilometer menyimpang dari highway. Pasti saya harus mencari ini: The Red Hen restaurant. Yang mengusir juru bicara presiden itu. Mudah. Di Google Maps saya tidak perlu menuliskan alamatnya. Cukup menulis nama restoran itu. Ketemu. Lokasinya di tengah kota. Persis di pojok sebuah simpang empat. Di pojokan persis. Sampai pintu masuknya pun selalu dikunci. Pengunjung harus lewat pintu kayu yang agak jauh dari lampu bangjo. Persoalannya: ini masih jam 15.00. Persoalannya lagi: ada tempelan pengumuman di dinding: buka jam 17.00. Persoalan yang lain lagi: sudah penuh, full book, tidak terima tamu lagi. Persoalan yang terpenting: sudah lapar sekali. Kebetulan ada wanita yang lagi bersih-bersih di teras samping. Saya perkenalkan diri dari luar pagar: saya dari Indonesia. Lalu dibukakan pintu. Kami berbincang di teras itu. Yang juga untuk tambahan kursi makan. “Betul-betul sudah penuh,” katanya. “Saya bisa duduk di tangga itu. Tidak masalah,” kata saya. Sambil menunjuk undak-undakan beton. (kata ‘undak-undakan tidak tepat kalau diterjemahkan dengan tangga’). “Hahaha... Tidak bisa,” katanya tertawa ngakak. “Saya jauh-jauh dari Indonesia sengaja hanya ingin ke sini,” kata saya. Sedikit berlebihan. Biasa. Bekas wartawan. Dia tampak serius. Mengucapkan terima kasih dengan tulus. Lalu berkata: kalau jam 20.30 mau? “Mau!”, jawab saya. Persoalannya: perut saya yang tidak mau. Maka kami memutuskan cari makanan kecil dulu. Sambil keliling kota. Ada waktu 4 jam lebih. Ketemu Chinese food. Saya sengaja menghindari masakan Amerika. Terlalu berat. Dan lagi jam 20.30 nanti sajiannya masakan Amerika banget. Yang juga harus saya putuskan segera: berarti harus bermalam di Lexington. Harus cari hotel. Kota ini kecil. Penduduknya hanya 7.500 orang. Sulit cari hotel. Tiba-tiba saya memergoki bangunan tua. Ada tulisan kecil ‘hotel’. Bunyi tulisan itu yang menggoda saya: Robert E. Lee Hotel. Saya masuk ke beberapa situs pemesanan hotel. Tidak ada yang menawarkan hotel itu. Saya pun langsung masuk lobinya. Saya tahu ini: petugas lobi pasti akan minta saya menempuh jalur online. Tapi kan tidak ketemu. Akhirnya saya tahu: tidak ada di situs karena sudah tidak ada kamar. Saya juga tahu: hotel ini dibangun tahun 1926. Oleh investor pengagum Jenderal Robert Lee. Yang jasanya besar dalam perang sebelumnya: melawan Meksiko. Akhirnya kami mencari hotel sembarangan. Hotel kecil. Agak di pinggir kota. Waktu empat jam saya manfaatkan untuk ke Universitas Washington and Lee. Yang indah sekali. Lalu habis. Tidak ada lagi yang menarik untuk dilihat. Memang ada akademi militer terkenal di sini tapi saya ragu apakah boleh masuk ke sana. Jam 19.30 saya sudah tiba kembali di The Red Hen. Yang ada hiasan ayam merah digantung di depan pintunya. Yang ada bangku di trotoar kecilnya. Saya akan menunggu di bangku itu saja. Nasib baik: seseorang menyapa saya. “Itu rumah saya,” katanya. Sambil menunjuk bangunan dua lantai di sebelah restoran. Yang hanya dibatasi jalan. Ia kenal baik pemilik restoran. Anaknya pun bekerja di restoran itu. “Menantu saya juga bekerja di Asia. Di Bangkok. Saya sudah beberapa kali ke sana,” ujarnya merespon asal usul saya. Ia pun menawarkan jasa: membantu menghubungi pemilik restoran. Untuk bisa mendapatkan prioritas kursi. “Tidak,” jawab saya. “Saya tadi sudah setuju jadwal jam 20.30,” kata saya lagi. Ia seorang arsitek. Umurnya 71 tahun. Ia lewat depan saya untuk meletakkan pot bunga kecil. Ditaruh di pinggir trotoar. “Saya sudah tidak pakai lagi. Siapa tahu ada orang yang mau ambil,” katanya. Kami pun menjadi akrab. Lalu ia menawarkan diri menjadi pemandu wisata dadakan. Jalan kaki di sekitar restoran itu. Ada bangunan bekas penjara. Yang sekaligus bekas gedung pengadilan. Dari situ ia menunjuk lantai atas rumahnya. “Anda tahu kenapa jendela-jendela rumah saya itu begitu besar?”, tanyanya. Saya menggeleng heran. “Zaman dulu pun orang ingin menghindari pajak,” katanya. “Apa hubungannya?” “Dulu besarnya pajak dihitung dari banyaknya jendela,” katanya. “Dengan membuat jendela besar yang tidak bisa dibuka seperti itu maka tidak perlu membayar pajak,” tambahnya. Saya pun memperhatikan jendela itu. Sebesar pintu. Terbuat dari kaca. Tidak ada daun jendelanya. Pasti pemilik rumah itu dulu berdebat dengan petugas pajak: apakah definisi jendela. “Sudah jam 20.30,” ujar saya memotong kisahnya. Saya pun menawarinya ikut makan. Ia menolak. Saya ngotot. Ia tetap menolak.(*)
Sumber: