Permendikbud tanpa Pertimbangan

Permendikbud tanpa Pertimbangan

Oleh: Arief Sosiawan Pimred Memorandum “Jancuk! Saiki lho golek sekolahan kok angel”, “Kate digowo nang ndi negoro iki?” (Jancuk! sekarang ini lho cari sekolah saja susah; Akan dibawa ke mana negeri ini?). Itulah penggalan kalimat yang terucap dari seseorang di warung kopi yang sedang bersantai bersama temannya. Tak mau kalah, teman ngopi bapak itu berseloroh, “Wis sing sabar, kabeh iku mesti ono faedahe” (Sudah yang sabar, semua itu pasti ada manfaatnya). Penggalan obrolan semacam ini jamak terdengar. Tidak cukup di satu warung kopi, hampir semua warung kopi di Surabaya dan Sidoarjo terdengar nyaring pembicaraan semacam itu. Tentu pembicaraan ini ada alasannya. Ada sebabnya. Paling tidak, obrolan mencari sekolah menjadi trending topic sepekan-dua pekan terakhir ini. Khususnya di Surabaya. Luapan kejengkelan si bapak tadi ternyata dipicu terbitnya Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Republik Indonesia Nomor 51/2018. Yang menurut banyak kalangan, khususnya orang tua atau wali murid, Permendikbud 51/2018 itu jadi produk Kemendikbud RI (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI) yang gagal total. Produk keputusan yang sangat tidak pantas “dilahirkan”. Atau, kalau tak berlebihan, dikatakan, “Keputusan yang memicu keterbelahan anak-anak bangsa.” Kenapa? Jawabnya adalah sebuah fakta. Di lapangan (Surabaya), pada pelaksanaan teknisnya terjadi pemahaman yang bias. Terjadi pro dan kontra yang tajam di antara rakyat. Ada rakyat yang setuju, sebaliknya ada rakyat yang menolak. Ada yang diuntungkan, ada pula yang dirugikan. Bahkan, teramat sangat dirugikan sekali. Seperti di kota yang berjuluk Kota Pahlawan, keterbelahan rakyat terlihat nyata. Rakyat yang tak puas atas terbitnya Permendikbud 51/2018 lebih banyak. Mereka sampai berani memutuskan untuk meluruk atau berdemo di berbagai tempat. Di kota mereka sendiri. Menyuarakan penolakan terhadap permendikbud yang mereka anggap tidak prorakyat. Dan tidak adil! Ini nyata. Mereka seperti si bapak yang ada di warung kopi. Menggerutu tidak terima dengan keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI yang melahirkan peraturan terburuk sepanjang sejarah pendidikan di negeri ini hingga si buah hati tidak bisa bersekolah di tempat yang diidamkan meski mengantongi nilai yang melebihi dari rata-rata. Padahal, permendikbud yang dilaksanakan itu justru sarat dengan pelanggaran. Minimal ada tiga pelanggaran kalau dilihat detail. Dan, itu pelanggaran yang cukup memalukan. Pelanggaran pertama, ada pada bab satu ketentuan umum pasal dua yang berbunyi; PPDB dilakukan berdasarkan: a. nondiskriminatif; b. objektif; c. transparan; d. akuntabel; dan e. berkeadilan. Yang dimaksud nondiskriminatif di sini adalah dikecualikan bagi sekolah yang secara khusus melayani peserta didik dari kelompok gender atau agama tertentu. Di Surabaya justru diberlakukan pengkhususan sekolah kawasan pada 11 sekolah yang penerimaannya berdasarkan SHUN (surat hasil ujian nasional) dan TPA (tes potensi akademik) bukan yang dimaksud dari permendikbud. Pelanggaran kedua terlihat di bab dua tata cara PPDB bagian kesatu pasal 4 ayat 1, yaitu pemerintah daerah harus menggelar PPDB pada Mei, sementara di Surabaya dilaksanan Juni. Pelanggaran lain ada di bagian ketiga jalur pendaftaran PPDB pasal 16 ayat 1 yang menyebut pendaftaran PPDB dilaksanakan melalui jalur a. zonasi; b. prestasi; dan c. perpindahan tugas orang tua/wali. Maksud zonasi di sini nyatanya dilakukan dengan mengubah menjadi dua, yakni zonasi kawasan dan zonasi umum. Ini jelas pelanggaran yang merugikan rakyat. Jadi, obrolan bapak dan temannya itu jelas memotret buram pendidikan negeri ini di tengah era digitalisasi. Bahkan banyak kelompok masyarakat yang bertanya: bisakah masalah ini dibawa ke ranah hukum? (*)

Sumber: