Dua Hari di Surabaya Langsung Kerja, Berseragam Hitam
Oleh: Yuli Setyo Budi, Surabaya Tiba-tiba Toni menawarkan alternatif pindah ke Surabaya. Biar tambah wawasan, katanya. Tentu saja Nia senang. Hatinya berbunga-bunga. Tapi, bagaimana mencari nafkahnya? Ternyata Toni punya kenalan dan sanggup mencarikan kerja. Akhirnya keluarga Nia boyongan ke Surabaya. Terjadi tangis-tangisan ketika mereka berpamitan. “Kami kos di Tegalsari, sampai sekarang,” kata Nia. Terdengar tangis anak-anak di telepon seberang. Pasti anak Nia. Toni tidak pernah memperkenalkan siapa temannya dan mengajaknya ke kos-kosan. Walau begitu, janji mencarikan kerja Toni benar-benar dipenuhi. Pada hari kedua di Kota Pahlawan, Toni sudah mulai bekerja. Kerjanya malam, mulai pukul 20.00 hingga pukul 05.00. Toni langsung dikasih dua setel seragam. Warna hitam. Memakainya, Toni tampak gagah dan berwibawa. Entah berapa gaji suaminya, Nia tak tahu persis. Ngasih-nya tidak mesti. Yang pasti cukup untuk hidup sederhana. Mungkin karena sudah bekerja, gaya hidup Toni pun berubah. Sudah tidak malas-malasan lagi. Kadang berangkatnya bahkan jauh lebih awal dari pulangnya amat-amat terlambat. Nia tidak mempersoalkan hal itu, karena pernah mempersoalkan sekali-dua kali, namun Toni menjawabnya agak kurang berkenan, “Ya begini ini kerja di kota besar. Harus mau berperang dengan waktu. Kalau perlu berperang dengan nyawa. Kamu diam saja di rumah, yang penting kebutuhanmu dan anakmu aku yang penuhi.” Sejak itu Nia tidak pernah mempersoalkan sepak terjang suaminya. Nia juga tidak pernah tahu dan tidak pernah bertanya di mana Toni bekerja. Yang penting, batin dia, kebutuhan keluarga terpenuhi. Tidak bisa dipungkiri, lambat laun penghasilan Toni makin besar, besar, dan besar. Mereka tidak lagi bertempat tinggal di kamar kos yang sempit. Sudah pindah ke rumah kontrakan seperti keluarga normal pada umumnya. Lokasinya masih tetap di Tegalsari, hanya beda gang. Dalam waktu singkat Nia bahkan bisa memenuhi kekosongan ruang-ruang di rumahnya dengan banyak benda. Ada tempat springbed, ada kulkas, televisi LED, dll, dsb, dst. “Risikonya, Mas Toni jadi semakin jarang di rumah,” kata Nia. Akhir-akhir ini Nia merasakan Toni kembali berubah. Sikapnya yang selama ini cuek menjadi semakin cuek. Toni juga sering pulang dalam keadaan mabuk. Tapi berbeda dengan kemabukan tetangga-tetangganya di Gunungkidul yang Nia ingat, kemabukan Toni cenderung seperti orang gak bek. “Tidak seperti Kung Pri, Cak Novi, atau Lik Mukhlis di kampung yang suka bengak-bengok dan ngamuk sepanjang jalan, Mas Toni justru menutup pintu kamar dan tidak mau diganggu. Pernah saya mengingatkannya untuk sarapan, eee… dia malah membentak. Sekali saja, setelah itu sepi. Sampai bangun sore atau bahkan pagi keesokan hari,” tutur Nia. Suaranya agak luruh makin lirih. “Saya pernah mengintipnya lewat ventilasi di atas pintu,” katanya. Dengan amat hati-hati Nia menyusun kursi dan sebuah dingklik kecil untuk tumpuan kaki agar matanya bisa mencapai lubang ventilasi. Lantas, apa yang terlihat? (bersambung)
Sumber: