Rasa Benci Berisiko Terjangkit Penyakit
SURABAYA - Saya memaafkan, tapi bukan berarti melupakan. Bahasa kerennya, forgive but not forget. Begitulah kalimat yang menggambarkan betapa sulitnya memberi dan meminta maaf. Padahal, terus-menerus memendam kemarahan hanya akan merugikan diri sendiri. Bahkan apabila rasa benci bisa berisiko menderita banyak penyakit. Hal itu disampaikan Kepala Program Studi Magister Manajemen (MM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Unair, Dr Gancar Candra Premananto, SE, MSi. Gancar mengatakan mungkin masyarakat pernah mendengar kalimat forgive but not forget. Konotasi itu menunjukkan bahwa memaafkan namun tidak melupakannya sama artinya dengan tidak memaafkan. "Jadi sebetulnya kita mengharapkan forgive ya forgive, tidak kemudian diingat-ingat lagi. Jadi filosofinya seperti itu," kata Gancar kepada Memorandum, Selasa (3/6). Padahal, lanjut Gancar, terus-menerus memendam kemarahan hanya akan merugikan diri sendiri. Bahkan apabila rasa benci itu terus menguasai, bisa berisiko menderita banyak penyakit. Dari aspek kesehatan, menurut Gancar, memang banyak riset yang mendukung semakin mudah memaafkan orang yang semakin kita bisa sehat, bahagia. "Stres akan muncul ketika batin seseorang terganjal oleh rasa kecewa atau tersakiti. Melupakan dan menganggap benar sebuah kesalahan yang menyebabkan rasa sakit tersebut tidak selalu bisa mengatasinya, kadang-kadang justru menambah beban di hati," papar dia. Memendam emosi atau perasaan tidak hanya berdampak pada gangguan psikis, tetapi juga dapat berdampak langsung pada gangguan kesehatan tubuh. Ada beberapa penyakit yang terjadi jika Anda sering memendam emosi. "Jika kita masih menyimpan dendam, masih ada rasa jengkel malah kemudian menjadi penyakit di badan kita. Mulai dari tekanan darah tinggi, sampai dengan diabetes, bisa kemudian serangan jantung itu meningkat ketika kita masih menyimpan amarah dan jengkel," ujar Gancar. Gancar juga menjelaskan, memaafkan merupakan sikap mulia yang amat dianjurkan dalam agama Islam. Seberat atau sepedih apa pun manusia mengalami dampak akibat kesalahan yang dilakukan orang lain, Allah SWT tetap memerintahkan setiap hamba untuk melapangkan dada terhadap kesalahan sesama. "Bahwa pada dasarnya kita sendiri sebagai orang Islam diharapkan menjadi pemaaf," imbuhnya. Menurut Ganjar, bahwa Idul Fitri mengajarkan ketika berbahagia pada hari besar itu bukan hanya spiritual ke Tuhan semata, tapi juga aktifitas ke lingkungan sekitar atau masyarakat sosial kita. "Jadi aktivitas berbagi juga harus kita lakukan. Karena di konteks hari raya itu bagi orang Islam ya itu ada aktivitas transedental ke atas dan kemudian berbagi. Itu kemudian bisa membahagiakan kita adalah diantara dua hal itu. Sehingga harapannya semoga kita di Hari Raya Idul Fitri itu bisa kembali benar benar bisa bahagia dunia akhirat memaafkan orang lain . Sehingga kita bisa putih bersih seperti sediakala," tutup dia. (alf/udi)
Sumber: