Perjuangan Mahasiswa Milenial Lepas dari Jerat Profesi Gigolo (4)
Klien Kedua Nanang Berdandan Menor kayak Tandak 1970-an
Nitha bertanya, apakah Nanang suka hadiah yang dia berikan? Spontan Nanang menjawab sangat suka disertai ucapan terima kasih bertubi-tubi. Kegembiraan terpancar pada nada suaranya. Innocent sekali. Klien kedua Nanang perempuan yang lebih tua ketimbang Nitha. Dandanannya menor kaya tandak tahun 1970-an. Tampak tanda-tanda kecantikan di masa muda. Perhiasannya kemrompyong menghiasi lengan, leher, dan telinganya. Bersaing merebut perhatian. Ada juga di hidung seperti artis-artis Boolywood. Tidak hanya terkesan cerewet, klien yang mengaku bernama Ratna ini banyak maunya. Apa-apa minta dilayani seperti sikap juragan terhadap babu. Bicaranya kasar dan suka memerintah. Saat makan malam, secara terang-terangan perempuan yang layak dipanggil eyang uti ini minta ditemani istirahat. Syukur-syukur kalau mau memijat tubuhnya. Ratna mengaku kebetulan sangat letih karena baru landing dari Amsterdam. Seperti kepada Nitha, Nanang menolak halus permohonan eyang uti eh Ratna dengan alasan menjaga ibunya yang sedang sakit. Tanggapan Ratna sama sekali tidak terduga. Dengan kasar dia membentak, “Ya sudah. Pulang sana. Peluk ibumu erat-erat.” Beberapa saat kemudian dia menelepon seseorang, “Gimana ini? (pause, orang di seberang bicara)… Gak mau tau. Pokoknya harus diganti. Harus. (pause, orang di seberang bicara lagi)… Harus malam ini. Baik. Tak tunggu.” Nanang yang berdiri di samping kursi Ratna dan hendak pamit malah kembali dibentak. “Kenapa masih di sini? Minta ini? Nih ambil,” kata Ratna sambil mengambil beberapa lembar uang pecahan Rp 100 ribu dan melemparkannya ke wajah Nanang. Nanang menahan emosi dan segera berlalu. Malu kepada tamu-tamu resto yang lain, yang memandang penuh tanya. Nanang kemudian menelepon Andik, “Aku mundur saja, Ndik. Pekerjaan ini tidak cocok untukku.” Terjadi perdebatan kecil, namun pada akhirnya Andik menerima alasan Nanang. “Ya sudahlah kalau memang itu maumu. Kekurangan utangmu tidak usah dicicil lagi. Kuanggap lunas. Maaf,” kata Andik. Beberapa hari berlalu. Saat Nanang sedang olahraga ringan, teleponnya berdering. Dari Nitha. “Kamu sedang liburan kan?” “Ya Mbak.” “Mau nemani Mbak shopping?” “Ke mana, Mbak?” Pembicaraan mereka terdengar akrab walau tidak pernah bertemu pascamakan malam itu. Bicara melalui telepon juga tidak. “Gak usah tanya ke mana deh. Kalau mau, besok sore Mbak tunggu di resto tampat kita makan dulu,” kata Nitha, yang langsung memutus sambungan telepon. Nanang mencoba telepon balik Nitha, tapi tidak bisa. HP-nya sedang tersambung dengan orang lain. Begitu terjadi terus-menerus hingga keesokan sore, saat Nitha pasti sudah menunggu di resto. “Ke mana, Mbak?” tanya Nanang setelah bertemu Nitha dan berbasa-basi. Nitha tidak menjawab pertanyaan itu namun langsung menyambar lengan kiri Nanang untuk digandeng menuju poll taksi. “Mbak yakin aku pasti datang?” tanya Nanang. “Sinar matamu menyiratkan kau orang yang baik,” kata Nitha, yang lantas berkata kepada sopir taksi, “Juanda, Pak.” “Lho, ke mana?” Nitha menjawab dengan senyum sambil menunjukkan dua lembar tiket pesawat. “Aku tahu identitasmu saat makan malam. Kulihat dari dompetmu yang tergeletak di meja. Saat kamu ke toilet.” Mata Nanang terbelalak ketika membaca tujuan penerbangan. (bersambung) Penulis : Yuli Setyo Budi Pembaca yang punya kisah menarik dan ingin berbagi pengalaman, silakan menghubungi nomor telepon / WA 0821 3124 22 88 . Bisa secara lisan maupun tulisan. Kisah juga bisa dikirim melalui email [email protected]. Terima kasihSumber: