Perjuangan Mahasiswa Milenial Lepas dari Jerat Profesi Gigolo (3)
Berjalan di Depan, Tampak Bokongnya yang Padat dan Berisi
Sungguh lucu. Bukan Nanang yang berusaha menyenangkan Nitha. Sebaliknya, justru Nithalah yang berusaha mengambil hati pemuda yang di kampus dikenal sebagai jago basket itu. Nanang selalu diladeni. Usai makan malam, mereka tidak langsung meninggalkan tempat. Masih ngobrol ngalor-ngidul. Di balik usianya yang sudah tidak muda lagi, ternyata Nitha tidak ketinggalan pembicaraan up to date kaum milenial. Menjelang pukul 23.00, Nitha menguap. Tidak hanya sekali, tapi berkali-kali. “Aku ngantuk. Kita istirahat di kamar, yuk. Kebetulan Mbak Nitha (sebutan Nitha untuk dirinya sendiri, red) punya kamar pribadi di sini,” kata Nitha. “Kamar pribadi, Mbak?” tanya Nanang. Dia juga memanggil Nitha dengan sebutan mbak, meniru sebutan pemilik nama. “Mbak kan punya saham di hotel ini.” Nanang terkejut. Ternyata benar apa yang dikatakan Andik, anggota arisan ini bukan orang kaleng-kaleng. Tapi benar-benar pantas disebut sosialita. Cantik-cantik dan kaya-kaya. “Tapi maaf Mbak. Ibu sedang sakit dan tidak ada yang menemani beliau.” “Ya sudah. Tapi Mbak Nitha tetap memaksamu ikut ke kamar. Mau Mbak kasih sesuatu. Setelah itu, dilakan pulang. Oke?” kata Nitha sambil mengerling. Bagai kerbau dicocok hidungnya, Nanang mengikuti langkah Nitha menuju kamar. Berjalan di belakangnya, tak bisa dielakkan, mata Nanang tertuju ke bokong Nitha. Tampak padat, berisi, mantap. Bokong itu bergoyang ke kanan ke kiri serasi dengan langkah kakinya. Begitu masuk kamar, Nitha membuka lemari, mengeluarkan brankas mini, dan mengambil dua tas belanja kecil. “Ini ada dua tas. Oleh-oleh Mbak dari Singapura. Kalau malam ini kamu mau nemani Mbak istirahat di sini, kedua-duanya jadi milikmu. Tapi kalau kamu memang terburu-buru mau pulang, bawa satu saja.” Nanang bersikukuh mau pulang menamani ibunya yang sakit. Walaupun tah, sejatinya di rumah tidak ada yang sakit. Itu hanya alasan Nanang untuk menghindari jebakan yang mungkin saja dipasang Nitha. Selain itu, dia takut bila terlalu lama berdekatan dengan Nitha, nanti ada setan adu-adu. “Bahaya,” pikir Nanang. Rawan terjadi korsleting. Bayangkan saja, Nitha mirip sekali dengan Paramitha Rusady, idolanya. Bahkan lebih dari idola, melainkan juga jadi teman fantasi. Suaranya yang lembut mendesah mampu menguras emosi di dalam hatinya, meski mereka berasal dari generasi berbeda. Akting Mitha dengan wajahnya yang sendu dan adem selalu mengundang simpati untuk meringankan beban yang diembannya. Nanang memang gandrung artis ini. Semua film dan lagunya dikoleksi rapi tanpa satu pun tertinggal. Nanang yakin bakal terjadi sesuatu andai dia menuruti permintaan Nitha menemani perempuan tersebut bermalam di hotel. Andik yang duduk di kursi belakang taksi meraba saku kiri celananya. Mengambil sesuatu yang tadi diselipkan Nitha. Nanang kaget. Rp 10 juta. Nilai yang sangat besar baginya. Dengan uang ini saja, dia sudah sanggup melunasi utangnya kepada Andik. Bahkan masih lebih. Nanang lantas membuka tas kecil di saku lain. Ternyata ringan-ringan saja. Pelan-pelan Nanang membukanya. Wow… jam tangan militer yang sangat bagus. Yang sudah dia impi-impikan sejak kelas satu SMA. Seminggu lalu dia melihat jam seperti itu waktu diajak teman membelinya di Tunjungan Plaza. “Ini hadiah dari Papa. Aku disuruh beli sendiri, nanti uangnya diganti. Aku kan ultah,” kata temannya itu. Nanang melirik harga jam tangan tersebut di papan kertas kecil yang digantung di gelangnya. “Waduh, Rp 2,190 juta,” batin Nanang, yang lantas melanjutkan membatin, “Lalu kira-kira apa ya isi tas yang satunya tadi?” Tiba-tiba HP-nya bedering. Dari Nihta. (bersambung) Penulis : Yuli Setyo Budi Pembaca yang punya kisah menarik dan ingin berbagi pengalaman, silakan menghubungi nomor telepon / WA 0821 3124 22 88 . Bisa secara lisan maupun tulisan. Kisah juga bisa dikirim melalui email [email protected]. Terima kasihSumber: