Terdakwa Penipuan Jual Tanah Berdalih hanya Korban

Terdakwa Penipuan Jual Tanah Berdalih hanya Korban

Surabaya, memorandum.co.id - Cicik Permatadias, terdakwa dalam kasus penipuan jual beli tanah seluas 7.090 meter persegi, tak sanggup menahan air mata ketika membacakan pembelaannya (pledoi), atas tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) selama dua tahun dan enam bulan penjara. Sebelumnya, Suriadi, penasihat hukum (PH) terdakwa Cicik membacakan dalil-dalil pembelaan kliennya tersebut di hadapan majelis hakim yang diketuai Martin Ginting di ruang Candra, Pengadilan Negeri Surabaya, Senin (25/1/2021). Dalam kasus ini, menurut PH, Cicik yang didakwa telah melakukan penipuan terhadap korban Sie Probo Wahyudi alias Gie Pin, oleh JPU Damang Anubowo dari Kejari Surabaya, hanyalah korban. Suriadi menambahkan, bahwa tanah tersebut milik Poedjiastuti yang meninggal dan merupakan orang tua kandung terdakwa. Menurut ia, kliennya tersebut tidak pernah menipu orang lain. Karena, semua proses jual beli tanah itu sudah dikuasakan kepada Mochammad Sutomo Hadi (berkas terpisah). “Dia ini (Cicik) hanya diperdaya. Karena, dia tidak mengerti dengan urusan jual beli tanah. Kedua, domisili Cicik bukan di Surabaya. Lalu, posisinya juga, dia merupakan ahli waris. Sutomo Hadi lah yang memperdaya klien saya,” kata Suriadi, saat ditemui usai persidangan. Lebih lanjut, Suriadi mengatakan, bahwa dari penjualan tanah warisan itu, Cicik mengaku hanya menerima uang Rp 730 juta, dari total kerugian yang dikatakan korban Sie Probo Wahyudi alias Gie Pin sebesar Rp 2,3 miliar. "Artinya, selebihnya diambil oleh kuasanya. Yaitu Sutomo Hadi," ujar dia. Sementara itu, JPU Damang Anubowo saat dikonfirmasi terkait pernyataan PH terdakwa Cicik langsung menepisnya. Menurutnya, dalam perkara penipuan penjualan tanah itu, ada peran aktif terdakwa Cicik. Karena, dia bersama Sutomo Hadi sudah menerima uang dari korban. Bahkan, Sutomo Hadi membenarkan pernyataan tersebut saat dirinya diminta menjadi saksi. Bahkan, ada bukti foto penyerahan kuitansi dan kuitansi itu ditandatangani terdakwa. Kuitansi itu senilai Rp 1,3 miliar. “Setelah itu, terdakwa malah membuat akta perdamaian lagi. Dari akta perdamaian itu, terdakwa menerima uang lagi Rp 2,5 miliar. Padahal, tanah itu sudah dijual kepada korban,” kata Damang. Selain itu, masih kata Damang, kemudian terbit akta perdamaian yang membuat terdakwa tidak mengakui kepemilikan tanah tersebut. Artinya, tanah tersebut sudah diserahkan ke pihak lain lagi. “Berarti kan tidak sinkron itu dengan pembelaan yang diberikan,”jelasnya Terkait pembelaan terdakwa yang menerangkan kalau terdakwa tidak mengerti dengan proses jual beli ini juga tidak sinkron. Padahal, terdakwa dulunya bekerja sebagai agen jual beli rumah. Jadi, terdakwa pasti paham dengan proses jual beli tanah itu. “Apa mungkin dengan kapasitas terdakwa seperti itu, dia berani tanda tangan kalau belum memegang uang. Jadi, pasti terdawa sangat paham dengan hal itu. Saya punya bukti-bukti itu semua. Dan saya sudah tuliskan itu semua ke surat tuntutan,”ungkapnya Sedangkan terkait penjualan tanah di Jalan Kenjeran nomor 348-350 Surabaya, milik Poedjiastuti yang telah meninggal tersebut, dikatakan oleh Damang tanpa sepengetahuan saudara kandung terdakwa, yang juga sebagai ahli waris terhadap tanah seluas 7.090 meter persegi itu. Untuk surat kuasa ahli waris yang dipakai itu, merupakan kuasa untuk menjual tanah orang tuanya yang ada di Jakarta. Bukan yang di Surabaya. Termasuk hasil penjualannya itu juga tidak pernah diberikan kepada ahli waris lainnya. “Ahli waris lainnya itu tidak pernah mengetahui penjualan itu. Tidak ada satupun yang menandatangani kuasa ahli waris itu. Tapi memang surat kuasa itu benar adanya. Tapi untuk penjualan tanah yang lain. Jadi, disalahgunakan sebenarnya surat kuasa itu,”pungkas Damang. (mg-5/fer)

Sumber: