Berlibur ke Alam Kubur (Pengalaman Mati Suri Warga Mojokerto) (1)
Pelan-Pelan Pocong Dibuka, Diciuminya Wajah sang Anak
Aku dinyatakan meninggal karena penyakit lambung kronis. Waktu itu baru lulus SMA pada 1993. Masa liburan. Aku bahkan sempat dikubur di permakaman umum Losari. Pengakuan tersebut diungkapkan seseorang yang mengaku bernama—sebut saja—Hayong, warga Mojokerto, via pesan WhatsApp (WA). “Menurut Almarhumah Ibu, tiga hari kemudian guru ngaji beliau yang sedang umrah menelepon. Disuruh membongkar kuburku. Secepatnya. Tentu saja Ibu bingung,” tulis Hayong. Tapi karena sang ustaz wanti-wanti agar permintaan ini dilakukan secepatnya, ibunda Hayong bergegas minta tolong penggali kubur untuk melakukan. Tentu saja secara sembunyi-sembunyi. Akhirnya, meski malam, pembongkaran dilakukan. Apa yang terlihat? Ternyata tidak ada apa-apa. Pocong Hayong terbujur kaku. Tak bergerak. Dibalut sepi dan kegelapan. Tentu saja ibunda Hayong kecewa. Pelan-pelan ibunda Hayong meraba pocong anaknya, menyibak bagian wajah dan menciumnya. Saat itulah ibunda Hayong merasakan ada embusan angin hangat keluar dari mulut Hayong. Perempuan paruh baya itu kaget. Setengah tidak percaya, dirabanya dada sang anak. Aneh. Dada itu terasa berdetak, meski lemah. Sangat lemah. Si penggali kubur lantas dimintai tolong memberi tahu dan memanggil Pak RT. Tubuh Hayong dibersihkan dan dilarikan ke rumah sakit. “Dua hari aku dirawat. Para tetangga gempar. Mereka berbondong-bondong nyambangin aku. Penasaran,” tulis Hayong. Tulisannya hanya sampai di situ. Cuthel. Sampai beberapa hari berlalu, tidak ada WA susulan atau telepon dari Hayong. “Ah, mungkin hanya WA main-main dari pembaca,” pikir Memorandum. Tapi, jujur saja Memorandum penasaran terhadap WA yang dikirimkan Hayong. Setelah lewat tiga hari benar-benar tidak ada informasi susulan, Memorandum mem-video call Hayong. “Kok ceritanya cuthel segitu aja?” tanya Memorandum. “Maaf. Anak saya sedang sakit,” jawab Hayong, yang menambahkan bahwa saat ini sedang menunggui anaknya, sebut saja Fitri, yang sedang sakit. Badannya panas dan kepala pusing. Bumi seperti berputar. “Kalau begitu maaf. Lain kali saja saya video call lagi.” “Ndakpapa. Sekarang saja. Apa yang mau Mas Yuli tanyakan?” “Waktu mati suri itu, apa yang Mas Hayong rasakan?” “Yang kurasakan?” “Ya.” “Apa ya? Waktu di kuburan? Atau gimana? Begini. Gimana ya ngomongnya?” Setelah diam beberapa saat, Hayong menjelaskan waktu itu merasa seperti bangun dari tidur. Tapi tidak seperti biasanya, suasana sekitar sangat belap. Gelap yang pekat. “Aku berusaha duduk. Tidak bisa. Tubuhku seperti terikat. Aku juga merasakan dipandangi banyak mata. Ironisnya, aku tidak melihat mereka. Tiap mata yang memandang menyimpan segudang pertanyaan.” Diam lagi. Cukup lama. “Aku takut,” imbuhnya. Kembali diam. Kali ini bahkan lebih lama. Terlihat pupil matanya bergerak ke kanan dan ke kiri. Seperti orang kebingungan. “Apa yang Mas Hayong takutkan?” “Tidak tahu. Pokoknya takut. Sangat takut,” tuturnya sambil menyeka dahi. Tiba-tiba layar HP tampak bergoyang. Rupanya HP yang dipegang Hayong terjatuh. Terdengar suara gemlodak dan suara tangis yang ditahan. Kemudian pet! Sambungan putus. (bersambung) Penulis : Yuli Setyo Budi Pembaca yang punya kisah menarik dan ingin berbagi pengalaman, silakan menghubungi nomor telepon / WA 0821 3124 22 88 . Bisa secara lisan maupun tulisan. Kisah juga bisa dikirim melalui email [email protected]. Terima kasihSumber: