Penyempurna Kabahagiaan Itu Akhirnya Lahir, Coer…
Oleh: Yuli Setyo Budi, Surabaya Ani merasakan, inilah puncak kebahagiaan setelah dirinya diterpa gelombang penderitaan. Tapi, benarkah roda kehidupan bakal berhenti dan stagnan ketika dirinya berada di puncak perputaran? Kalahiran anak yang ditunggu-tunggu kelur dari perut Ani akhirnya terjadi. Coer! Semua bahagia. Semua menyambutya dengan rasa syukur. Apalagi Ani. Dia merasakan kebahagiaan itu sangat sempurna. Betapa tidak? Kini di sampingnya anak yang lucu, madu yang baik, dan suami yang bertanggung jawab. Apa lagi? “Fabiayyi alai rabbikuma tukaththibani,” batin Ani. Bila belum lama ini Ani sering bermandikan air mata karena deraan penderitaan, kini perempuan penyabar tersebut bermandikan air mata kebahagiaan. Karena itulah Ani selalu bersujud di kaki kedua orang tuanya di desa sebagai wujud rasa syukur. Demikian pula kali ini, dia sangat merindukan mereka. Ani sengaja menolak ajakan Wawan dan Ningsih yang ingin mewujudkan rasa syukur mereka ke tanah suci. Mereka akan berumrah dengan mengajak anak yang lahir dari perut Ani, yang kini sudah berusia sekitar setahunan. “Aku ingin Mas Wawan dan Mbak Ningsih menikmati kebersamaan mereka bersama anak kami, Triyoko. Koko,” cerita Ani. Dari nada suaranya, terasa kalimat itu diucapkan dengan keikhlasan yang sangat dalam. Seperti embun pagi yang sengaja turun untuk memberi kesegaran bunga-bunga setelah semalaman tertidur layu. Begitulah, ketika Wawan dan Ningsih keluar dari rumah untuk menuju bandara dan terbang ke tanah suci, Ani diantarkan sopir menyibak kemacetan ruas-ruas jalan kota untuk keluar kota. Menuju desanya di garis pantai selatan Pulau Jawa, daerah yang masih menjunjung tinggi adat budaya leluhur. Deretan hutan yang dulu masih lebat ketika ditinggalkan Ani bersama Darmi, kini sudah banyak yang gundul. Padahal, mereka belum terlalu lama meninggalkan rerimbunan di sepanjang jalan itu. Seperti baru kemari, bahkan. Ani yang tiba-tiba mengingat Darmi, teman dolan semasa kecilnya itu, berusaha menepis penampakannya di ruang memori. Ani tak mampu membayangkan betapa sahabat kecilnya itu tega menjebak dan menjualnya di Surabaya. Ah, sudahlah… Setelah menurunkan penumpangnya, lelaki yang menyopiri kendaraan Ani segera pamit kembali ke Surabaya. Lelaki tersebut adalah pegawai Wawan di tempat usaha dan diserahi berbagai urusan. Karyawan serba bisa. Keluarga di desa menyambut Ani dengan syukuran kecil-kecilan. Ani dianggap sebagai anak yang mampu mengangkat derajat keluarga meski hanya menjadi istri kedua. Sebab, dari Anilah mengalir rezeki yang seolah tiada batas. Teman-teman sepermainan dan mantan teman sekolah banyak yang datang ke rumah untuk mengucapkan selamat. “Berarti mereka tidak pernah tahu kalau aku sempat dijerumuskan Darmi ke dunia laknat. Alhamdulillah,” puji syukur Ani dalam hati. “Mbak Ani ingat Darmi nggak?” tiba-tiba ada seorang teman menyeletuk. Deg! Dada Ani berdesir cepat. Tiba-tiba Ani khawatir rahasia kehidupan kelamnya terkuak. “Darmi?” Ani balik bertanya dengan suara bergetar. (bersambung)
Sumber: