Dikasih Minum, Ngantuk, Pakaian Dilepas Satu per Satu

Dikasih Minum, Ngantuk, Pakaian Dilepas Satu per Satu

Oleh: Yuli Setyo Budi, Surabaya Jangan tanya siapa Ani (35, samaran) dulu. Kenalilah Ani sekarang: seorang ibu rumah tangga yang sedang tersiksa. Sedang menderita dan butuh uluran tangan. Dia takut dan khawatir tidak kuat, lantas terjerumus ke dunia gelap yang sempat dilakoninya. Melaui sambungan telepon WA, Ani yang tinggal di kawasan Sawahan ini minta tolong kisahnya dituliskan Memorandum agar bisa dijadikan pelajaran bagi para perempuan lain. Singkat cerita, dulu Ani muda adalah gadis lugu yang tinggal di pelosok pedesaan Jawa Tengah sisi selatan. Kondisi ekonomi menyebabkan dia harus mengorbankan pendidikannya dan ikut kerja tetangga di Surabaya. Tetangga itu berusia sekitar empat tahun lebih tua. Ngakunya bekerja di kafe, semacam warung di daerah asal Ani, tetapi khusus menyediakan makanan dan minuman orang-orang kaya. Pengunjung dihibur alunan musik. “Bayanganku dulu, ada grup dangdut elekton dan penyanyinya,” kenang Ani, yang menggambarkan penampilan temannya itu jauh berbeda ketika dibanding saat hidup di desa. Sekarang perhiasannya banyak dan dandannnya selalu mirip orang kondangan. Seperti orang-orang kaya di desanya. Karena itu, ketika temannya tersebut, sebut saja Darmi, pulang kampung pada suatu Lebaran, Ani tidak bisa menolak ketika diajak bergabung bekerja di Kota Pahlawan. “Kerjanya enak, duitnya banyak,” begitu promo Darmi. Sebenarnya bukan satu kali saja ajakan itu dilontarkan kepada Ani. Sudah lebih dari tiga kali. Namun, Ani selalu dicegah orang tuanya. Dan, dulu, selalu menurut. Kali ini pun sebenarnya orang tua tetap mencegah, namun Ani nekat memberot. Dia berangkat tanpa izin. “Apalagi, waktu itu temanku itu mengaku sanggup menanggung keperluankan selama belum mendapatkan bayaran,” imbuh Ani. Sesampai di Surabaya, waktu itu sudah malam dan Ani diajak langsung bergabung di tempat kerja Darmi. Tempatnya kecil tapi hingar bingar. Lampu warna-warni menghiasi hampir seluruh sudut ruang. Ani diminta duduk di sebuah kursi di sudut ruangan, sementara Darmi langsung menghilang ditelan temaram. Ani sempat bergidik ngeri. “Tempat apa ini? Begini toh kafe itu?” batin Ani sambil memperhatikan seluruh penjuru. Orang-orang tidak ada yang menghiraukan kehadirannya. Cuek, tenggelam dalam dunia masing-masing. Sekitar setengah jam berlalu, ada seorang lelaki mendatanginya. Usianya sekitar 40 tahun. Sebenarnya gagah, tapi penampilannya agak-agak goyah. Mirip Sodikun, tetangga di desa yang doyan minum toak. “Masa tempat seperti ini juga mejual toak?” kembali Ani membatin. Lelaki itu memperkenalkan diri bernama Sampuri. Panggilannya Puri. Gayanya kayak Pambudi, tuan tanah kaya raya di desa Ani. Istrinya tiga dan semuanya cantik-cantik. Bahkan, kabarnya satu di antaranya berasal dari Surabaya. Sambil berbicang-bincang ringan, ngalor-ngidul tanpa arah, Puri menawarkan minuman. Ani mencicipinya. Enak. Manis. Tidak mirip toak seperti yang pernah dia cicipi di warung Mak Santen. Pengar dan manis. Yang ini baunya harum. Gaya bicara Puri yang memikat mampu membuat Ani melupakan Darmi dan maksud kedatangannya ke sini. Ani malah mulai merasa mengantuk. “Mengantuk ya? Tidur saja di dalam. Ada tempat kok,” kata Ani mengulang tawaran Puri kala itu, yang tanpa minta izin lantas merangkul dan membimbingnya ke kamar. Beberapa saat kemudian Ani merasakan satu per satu pakaiannya dilepas. Dia mau protes, tapi tak mampu berucap, mau memberontak, tapi tak mampu bergerak. Setelah itu perlahan-lahan kesadarannya menguap. (bersambung)  

Sumber: