Penolak Syariat Islam Terjebak Jadi Mualaf Penikmat Syariat (1)

Penolak Syariat Islam Terjebak Jadi Mualaf Penikmat Syariat (1)

“Islam Melendahkan Pelempuan dan Tidak Adil kepadanya”

Pagi itu, seperti biasa, pukul delapanan Memorandum nggowes tipis-tipis. Puter-puter kompleks perumahan. Belum sampai satu putaran, terlihat pemandangan ganjil di halaman masjid. Lho, kok ramai? Ada apa? Hari itu memang Jumat. Namun, tidak biasanya jam segitu masjid sudah dipadati orang. Memorandum berhenti dan memperhatikan mereka. Tampak Ustaz Azis, ketua takmir, berbincang dengan seseorang. Serius. Memorandum mendekat. Orang yang bersama Ustaz menoleh. Tersenyum. Welah dalah, ternyata Jingmi, pemilik toko kelontong dekat gerbang perumahan. Buru-buru dia mengulurkan tangan. Mengajak salaman. “Aku akan jadi sodala owe,” katanya, disambung senyum. “Maksud Koko (panggilan Jingmi, red)?” tanya Memorandum. Jingmi tertawa. Matanya yang mirip penggaris ditenggelamkan garis-garis tanda ketuaan di bawah mata. Lucu. Kini jadi mirip ilustrasi buku mini cerita Kho Ping Hoo. “Aku mau syahadat. Dituntun Ustaz Azis,” kata Jingmi dengan cahaya mata berbinar. “Selamat,” ujar Memorandum sambil mengulurkan tangan. Jingmi malah menghindar. Dia melangkah mundur dan menarik tangannya yang nyaris teraih Memorandum. “Ntal dulu. Belum. Bental lagi,” Jingmi mengucapkan kalimat itu dengan yakin. Amat yakin. Dia kemudian memanggil teman-temannya yang seetnis dengannya. “Meleka udah Islam duluan. Dali PITI.” Jingmi orangnya ramah. Mudah bergaul. Dari keluarga pengusaha. Bisnisnya di bidang retail sangat maju. Orang tuanya tinggal di kawasan elite tengah kota. Saat pindah ke perumahan setelah nikah, sekitar 20 tahun lalu, Jingmi berkenalan dan cepat akrab dengan warga. Kalau ditanya kenapa tidak hidup di tengah kota seperti orang tuanya, Jingmi hanya tersenyum. “Aku ingin jadi olang Indonesia satus pelsen,” katanya. Lalu tertawa. Itu saja alasan dia setiap ada yang tanya. Tidak pernah menjawab dengan kalimat lain. Selama berkumpul dengan warga, dia suka jagongan di pos kamling. Kami sering diskusi. Soal apa saja. Termasuk sikap orang Islam yang dinilainya tidak adil dan merendahkan martabat kaum perempuan. “Masa laki boleh kawin lebih dali satu, tapi pelempuan tidak,” katanya suatu saat. Waktu itu Memorandum mendebatnya dengan mengatakan bahwa poligami justru merupakan upaya menjaga harkat dan martabat perempuan. Poligami adalah solusi. Jingmi ngotot, “Solusi yak apa?” Sambil tersenyum Memorandum lantas bertanya, “Di dunia ini, menurut Koko banyak pria atau perempuannya?” “Dengal-dengal sih banyak pelempuan-nya. Malah pelbandingannya belipat.” “Itulah mengapa agama kami mengajarkan solusinya: poligami. Untuk menjaga agar laki-laki tidak terjebak zina dan perempuan jadi objek permainan laki-laki arau terjerumus ke dunia hitam. Itu hanya sebagian manfaat poligami. Masih banyak yang lain.” Jingmi juga pernah memprotes pembagian warisan di Islam yang amat tidak adil. Lelaki dapat dua bagian, wanita hanya satu bagian. “Di mana letak keadilannya? Pokoke Islam melendahkan pelempuan dan tidak adil kepadanya.” katanya setengah mengejek. “Kalau Koko pengen tahu jawabannya secara gamblang dan jelas, coba tanyain ke Pak Azis. Ustaz Azis,” saran Memorandum. Sejak itulah Jingmi dekat dengan Ustaz Azis dan sering berdiskusi (bersambung)           Penulis : Yuli Setyo Budi Pembaca yang punya kisah menarik dan ingin berbagi pengalaman, silakan menghubungi nomor telepon / WA 0821 3124 22 88 . Bisa secara lisan maupun tulisan. Kisah juga bisa dikirim melalui email [email protected]. Terima kasih      

Sumber: