Blok Terbesar
Oleh: Dahlan Iskan INI bisa dibilang telak. Pun ketika Presiden Donald Trump belum mau mengakui kekalahannya di pilpres Amerika. Ia sudah kalah telak di Asia. Dua hari lalu kita berhasil membentuk blok besar ekonomi. Anggotanya 15 negara. Blok ini mengejutkan karena meliputi 1/3 penduduk dunia. Juga 1/3 GDP jagat raya. Saya menyebut ”kita” karena Indonesia ada di dalamnya. Semua negara ASEAN, 10 negara, tanda tangan. Secara online. Ditambah Tiongkok, Jepang, Korsel, Australia, dan Selandia Baru. Maka, blok ekonomi kita itu lebih besar dari blok ekonomi Eropa –apalagi setelah ditinggal Inggris. Juga lebih besar dari blok Amerika-Kanada-Meksiko. Yang disebut Nafta itu. Dunia pun tiba-tiba menoleh ke Asia Timur-Asia Tenggara-Australia ini. Seperti langsung melupakan heboh politik di Amerika. India sebenarnya ikut dalam pembicaraan sejak awal. Sejak tahun 2012. Tapi, tahun lalu India mundur dari blok ini. Kalau saja India-Pakistan-Bangladesh ikut serta, kekuatannya lebih dahsyat lagi. India mengatakan, industri dalam negerinya belum siap bersaing. India tergabung dalam asosiasi negara-negara Asia Selatan bersama Sri Lanka, Bangladesh, Pakistan, Nepal, dan Bhutan. Meski begitu, India kapan saja bisa masuk kembali ke dalam RCEP. Mungkin setelah Trump meninggalkan Gedung Putih kelak. RCEP (baca saja: ercep) adalah nama blok baru ini. Singkatan dari The Regional Comprehensive Economic Partnership. Mirip TPP (Trans-Pacific Partnership) yang ditinggalkan sepihak oleh Amerika setelah Trump jadi presiden. Saya juga menyebut ”kita” karena yang punya inisiatif ercep adalah ASEAN. Bukan Tiongkok atau Jepang. Waktu itu Tiongkok punya gagasan blok Asia Timur: Jepang-Korsel-Tiongkok. Sudah lama KTT ASEAN selalu mengundang Jepang, Korsel, Tiongkok, dan Australia. Istilahnya: KTT ASEAN plus-plus. Kini ASEAN plus-plus itu menjadi satu blok ekonomi yang formal. Hebatnya juga: penandatanganannya dilakukan secara online –akibat pandemi. Maka, 15 negara anggota blok ercep ini sudah sepakat untuk menurunkan bea masuk. Dengan demikian, barang dari mana saja yang masuk ke mana saja bebas bea atau mendapat tarif yang rendah. Itu akan seperti yang dipraktikkan di blok Amerika-Kanada-Meksiko atau di blok negara-negara Eropa. Kita tentu tidak kaget lagi. Kita sudah bertahun-tahun mempraktikkannya di Afta (ASEAN Free Trade). Atau yang oleh kita disebut MEA –Masyarakat Ekonomi ASEAN. Begitu takutnya kita dulu –sebelum ada MEA. Seolah kita akan kiamat. Nyatanya kita masih baik-baik saja –sebelum akhirnya tidak baik karena ada pandemi. Dengan MEA, kita ternyata hanya sedikit demam. Tapi dengan ercep, mungkinkah kita akan terbatuk-batuk? Kuncinya ada di kondisi tubuh kita sendiri. Kalau ekonomi kita sehat, kita tidak akan terkena Covid-19, ups, terkena imbas ercep. Salah satu vitamin sehat itu adalah ekspor. Kita harus bisa ekspor apa pun yang kita punya. Ini mudah diucapkan. Tapi, melaksanakannya lebih sulit dari memperistri Nikita Mirzani. Saya tidak menyangka di Asia bisa terbentuk blok ekonomi seperti itu. Secepat itu. Bangsa Asia ternyata mampu juga mengendalikan ego masing-masing untuk kemakmuran bersama. ”Ini kemenangan sikap pro-multilateral,” ujar Perdana Menteri Tiongkok Li Keqiang. Tentu ia malu untuk mengatakan ini sebagai kemenangan Tiongkok. Terutama menang atas Amerika Serikat. Di sana, terutama sejak Trump berkuasa, ekonomi menjadi lebih sempit. Demikian juga Inggris di bawah Boris Johnson. Waktu itu Trump sangat percaya dengan membatalkan free trade, ekonomi Amerika akan meroket. Dan itu betul. Hanya karena pandemi merosot kembali. Kini justru Asia yang memercayai perdagangan bebas. Entah Amerika setelah Trump tidak lagi berkuasa. Bagaimana dengan India? India memang selalu punya masalah dengan Tiongkok. Dulu India sangat pro-Uni Soviet untuk bisa bertengkar dengan Tiongkok. Belakangan India lebih pro-Amerika di tengah perang dagang Amerika-Tiongkok. Keluarnya India dari ercep terjadi tahun lalu. Saat sengit-sengitnya perang dagang Amerika-Tiongkok. Dari situ bisa dibaca sikap India yang memihak pada Amerika. Terutama ketika Amerika ingin menancapkan kembali pengaruhnya di Asia –yang tergerus oleh Tiongkok. Adalah seorang ekonom India yang pertama-tama melontarkan istilah ”jebakan utang Tiongkok” yang kemudian menjadi isu politik di negara masing-masing. Jepang sebenarnya juga selalu punya masalah politik dengan Tiongkok. Itu soal masa lalu yang kelam –terutama terkait pembantaian Nanjing. Tapi, Jepang punya kepentingan ekonomi yang besar dengan Tiongkok. Lewat kesepakatan bersama di ercep itu, tidak perlu lagi ada negosiasi dua negara. Perundingan dua negara sering dibumbui sentimen-sentimen ego. Tapi, dengan kesepakatan multilateral, hambatan ego itu tidak muncul. Maka, hebat juga bahwa Jepang –yang secara konstitusi berada di bawah payung Amerika– menandatangani perjanjian ercep ini. Mungkin karena toh seminggu sebelumnya sudah mulai jelas bahwa Trump kalah. Mungkin juga kesepakatan itu menjadi lancar karena Covid-19. Semua negara kini lagi menderita. Ekonomi lagi babak belur. Semua negara anggota ercep pun berkomentar: kesepakatan ini bisa mempercepat penyembuhan ekonomi akibat Covid. Apalagi bagi Tiongkok yang sudah sembuh duluan. (*)
Sumber: