Sarapan Dibentak

Sarapan Dibentak

‘’Minggir kamu. Ngapain kamu tuding-tuding!” Itulah sarapan terbaik saya kemarin. Dibentak petugas jam 6 pagi. Ceritanya begini: Berangkat senam dari Rumah Intan Nginden, saya seperti biasa lewat Jalan Prapen. Akhir-akhir ini, saya memang menyukai lewat Margorejo. Lebih sepi. Nah, dari Prapen belok ke Margorejo ada lampu lalu lintasnya, begitu juga yang dari Jemursari mau ke Margorejo. Karena itu, begitu lampu hijau saya langsung tancap gas. Eh, saya agak kaget karena pada saat yang sama ada sepeda motor nyelonong dari arah Jemur juga mengarah ke Margorejo. Padahal, mestinya, dia dalam posisi merah. Berhenti. Saya refleks. Buka kaca, menuding ke atas. Maksud saya ke arah traffic light. Betapa kaget, ternyata si sepeda motor tadi menguber saya, lalu berteriak: ‘’Minggir kamu,’’ katanya. Setelah saya amati, he..he.. ternyata petugas. Dari sepatunya dan jaketnya. ‘’Lumayan, pagi-pagi dapat sarapan dibentak,’’ batin saya. Saya tak mau berhenti. Saya merasa tidak bersalah. Pikiran saya ke Graha Pena. Senam. Dia mengejar. Langsung mepet. Bentakannya makin keras. ‘’Berhenti!’’. Saya harus berhenti karena motornya mepet sekali persis di depan mobil. Tak mungkin saya tabrak. Nambah perkoro. Begitu saya berhenti, dia langsung berteriak keras. ‘’Ngapaian kamu tuding-tuding,’’ katanya. ‘’Saya jawab. Lho saya tuding untuk memberi tahu bahwa lampunya merah,’’ katanya. ‘’Tidak mungkin,’’ katanya. Saya jawab, ‘’Saya lewat sini setiap pagi. Kalau yang dari Prapen ke Margorejo hijau, berarti yang dari Selatan, Jalan Jemursari, ke Margorejo merah.’’ Eh, ternyata dia ngotot. ‘’Tidak mungkin. Ini juga jalur saya setiap hari. Tak ada tanda itu,’’ katanya masih bernada tinggi. ‘’Oh gitu, kalau gitu kita lihat ya Pak.’’ Saya pede. Karena saya tahu persis ada. ‘’Ayo!’’ jawabnya. Saya tak menyangka dia berani. Tapi, karena pikiran saya ke senam, saya batalkan. Batin saya, tak ada gunanya. Bisa batal senam untuk melayani pertengkaran yang tiada guna. Saya yang rugi. Begitu batin saya. Saya pakai jurus mengalah. ‘’Ngapunten Mas. Saya mau senam. Saya yang salah, menegur dengan menuding-nuding tadi. Saya minta maaf,’’ kata saya. Apa jawabnya. ‘’Saya juga tergesa-gesa ini. Lain kali kalau menegur yang baik-baik katanya dengan suara yang sudah mereda. Saking penasarannya, sepulang senam di Graha Pena, saya lewat Jemur. Untuk mengecek apakah rambu dan lampunya masih ada. Begitu sampai belokan Margorejo, masih ada. Cetho welo-welo, terang benderang: belok kiri ikuti isyarat lampu. Malah ada dua. Sepuluh meter sebelumnya, dan satunya lagi, persis di bawah lampu TL-nya. Kesimpulannya? 1. Meski benar, cara menegur pun sangat penting, supaya tidak ada yag tersinggung. 2. Tak usah perpanjang the small stuff, urusan sepele, mengalah saja. Supaya tidak merugikan urusan lainnya. Peace! Ali Murtadlo, Kabar Gembira Indonesia (KGI)

Sumber: