37 Derajat
Oleh: Dahlan Iskan Panas. Menyengat. Lembab. Kemringet. Suhu udara 37 derajat. Matahari seperti turun lebih dekat ke bumi. Saya tidak kuat. Memilih meninggalkan komplek istana Dinasti Chakri ini. Nasihat dokter selalu mengiang di telinga saya: jangan banyak di terik matahari. Saya kan mengonsumsi obat penurun imunitas. Setiap hari. Sudah sejak 12 tahun lalu. Untuk ke istana di Bangkok ini pemeriksaan sangat ketat. Minggu kemarin adalah hari terakhir proses penobatan raja baru: Maha Vajiralongkorn. Menjadi Rama ke X. Sejak keluar dari China Town jalan-jalan sudah ditutup. Radius setengah kilometer disterilkan. Lalu-lintas dilarang. Pejalan kaki harus melewati penjagaan barat atau timur. Ada tenda panjang didirikan di tengah jalan. Petugas imigrasi melakukan pemeriksaan. Awalnya pemeriksaan fisik dan barang. Mirip di bandara. Lalu pemeriksaan paspor. Dicatat. Difoto ulang. Setelah itu masing-masing harus antre sambil memegang paspor. Dibuka di bagian yang ada foto. Dipasang di sebelah wajah kita. Untuk difoto oleh petugas. Antre keempat adalah untuk mendapatkan stiker. Paspor dicatat lagi. Diperiksa lagi. Baru diberi stiker. Untuk ditempel di dada. Antrean berjalan lambat. Tenda hanya menahan terik. Tidak bisa menahan panas. Panas di bawah tenda justru seperti mendidih. Beberapa orang barat basah kuyup. Oleh keringat mereka. Antrean saya lebih lambat. Lelaki di depan saya tidak bawa paspor. Hanya KTP warna merah. Saya pikir penduduk asli Thailand. Huruf di KTP itu mlungker-mlungker. Petugas mengalami kesulitan mencatat yang mana nama dan mana alamat. Setelah konsultasi sana-sini barulah diketahui. Itu KTP Kamboja. Giliran saya tidak ada masalah. Antrean kelima juga berjalan lambat tapi menyenangkan: memilih topi. Gratis. Banyak modelnya. Banyak pula pilihan warnanya. Saya ambil yang warna kuning. Meski modelnya tidak menarik. Tapi warna kuning itu penting. Untuk mengkamuflase kaus saya yang warna abu-abu gelap. Saya bisa membayangkan alangkah panasnya Raja Rama X ini. Saat ditandu keluar dari istana. Menuju tiga pagoda. Lewat jalan-jalan raya di pusat kota. Salah satunya pagoda dengan patung Budha zamrud. Total perjalanan itu mencapai 7 km. Berhenti tiga kali. Di setiap pagoda. Untuk sembahyang. Raja dalam pakaian lengkap. Tebal. Berlapis. Dengan topi mirip topi cowboy. Warna gelap agak hitam. Bagian atasnya agak berkerucut. Masyarakat yang memenuhi pinggir sepanjang jalan sangat puas. Mereka bisa melihat barisan Raja Rama cukup lama. Langkah barisan ini lambat. Langkah kecil-kecil. Diiringi musik drum band. Dengan irama yang juga lambat. Masyarakat yang menunggu di satu jalan simpang empat, misalnya. Bisa melihat barisan ini lebih dari lima menit. Apalagi kalau simpang empat itu berupa bundaran. Bisa 10 menit. Saya bisa membayangkan betapa bosannya Raja Rama di atas tandu. Diam. Panas. Nyaris tidak bergerak. Tidak ada pendamping di tandu. Tidak ada permaisuri. Tidak ada dayang yang mengipas. Dari satu pagoda ke pagoda lain bisa lebih satu jam di atas tandu. Dengan posisi kaki tidak bergerak. Tubuh tidak bergerak. Wajah tidak bergerak. Menatap lurus ke depan. Tidak melambaikan tangan. Tidak menyapa siapa saja di sepanjang jalan. Tidak bisa membuka WA. Masyarakat penuh di sepanjang jalan yang dilewati. Yang lapisan terdepan duduk bersila. Atau bersimpuh. Dengan sikap hormat pada raja. Dua tangan ditangkup di wajah. Demikian juga beberapa baris di belakangnya. Hanya di simpang-simpang empat barisan masyarakat sampai jauh ke belakang. Yang bagian belakang itu sikapnya agak rilek. Melambai-lambaikan bendera kecil kuning atau bendera Thailand. Ada juga yang bersorak dan berteriak. Di jalan raya yang dua jalur, lebih rapi. Satu jalur untuk barisan Raja. Satu jalur lagi untuk masyarakat. Penuh. Berbaju kuning. Duduk rapi memanjang. Barisan Raja itu sendiri panjangnya hampir setengah kilometer. Paling depan adalah kuda. Hanya dua. Berwarna putih. Dengan langkah kaki yang dilatih khusus. Sangat pelan. Di samping kuda itu dua orang berbaris. Ini yang membedakan dengan di kerajaan di Eropa. Yang menempatkan kuda lebih penting dan atraktif. Di belakang kuda inilah peleton khusus kerajaan berbaju merah dengan topi hitam tinggi. Mirip tentara penjaga kerajaan di Inggris itu. Di belakangnya lagi peleton-peleton berbagai pasukan. Dengan pakaian khas kerajaan masing-masing peleton. Peleton musiknya saja dua: peleton musik dengan drum band dan terompet. Serta peleton musik tradisional dengan gendang. Peleton pemandu raja sendiri berada di tengah. Yang memanggul tandu 12 orang. Dikelilingi pasukan dengan pakaian dan topi kerajaan. Begitu langka perjalanan Raja dari istana ke pagoda pertama. Diteruskan ke pagoda kedua dan ketiga. Dan kembali ke istana. Memutar pusat kota. Yang seperti ini pernah terjadi 70 tahun lalu. Tidak ada dokumentasinya pula. Belum ada TV di Thailand saat itu. Sampai batas saya menulis naskah ini, kirab belum selesai. Sudah lima jam. Betapa lelahnya Raja. Betapa panasnya. Kalau saja Raja dikirab di dalam tandu model kerajaan Tiongkok kuno bisa ada yang mengipasi. Tidak kelihatan dari luar. Raja Thailand ini dikirab dengan tandu terbuka. Sulit istirahat. Sekedar mengantuk sekali pun. Bayangakan sejak jam 4.30 sore sampai jam 8.30 malam Raja masih di atas tandu. Di tengah udara yang amat ongkep. Mungkin ini bagian paling tidak enak menjadi raja.(*)
Sumber: