Tidak Sengaja, Terpeleset dan Masuk Sumur Tetangga
Oleh: Yuli Setyo Budi, Surabaya Ilham (28, samaran) mengawali rumah tangga vs Sugiartini (24, samaran) dengan keyakinan bakal mampu mewujudkan keluarga sakinah, mawadah, warohma (samawa). Keluarga idaman. Namun, apa yang terjadi? Menikah pada pertengahan 2017, Ilham yakin Sugiartini yang berasal dari keluarga sederhana bisa menyelaraskan diri dengan kehidupan Ilham yang masih bekerja sebagai pegawai honorer di kantor pemerintahan. Ijab kabul di rumah sempit perkampungan padat penduduk kawasan Rungkut menandai janji suci mereka. “Kami berkenalan di Plasa Marina ketika sama-sama beli HP,” kata Ilham kepada pengacaranya di kantor sekitar Pengadilan Agama (PA) Surabaya, Jalan Ketintang Madya, awal pekan lalu. Tak lama setelah resepsi yang diadakan secara sederhana, pasangan pengantin baru itu lantas menyewa rumah di kampung itu juga, agar tidak jauh-jauh dari orang tua Sugiartini. Tini, panggilan Sugiartini, tidak tega meninggalkan kedua orang tuanya karena dia adalah anak tunggal mereka. Dengan berdekatan rumah, sewaktu-waktu Tini bisa menengok mereka. Memang, hampir setiap waktu Tini bisa lebih banyak bersama kedua orang tuanya. Setiap Ilham bekerja atau keluar untuk keperluan apa pun, Tini pasti pulang ke rumah orang tuanya. Ilham bahkan sering harus menjemput istrinya di rumah mertua sepulang kerja atau dari bepergian. “Hidup Tini sepertinya hanya di dua tempat. Tidak ada yang lain. Kalau tidak di kontrakan saya ya di rumah Ibu (mertua, red),” kata Ilham memberi gambaran kehidupan sang istri. Bahkan, sering dengan alasan capek karena membantu ibunya membuat kue pesanan, Tini menginap di rumah sang ibu. Mungkin karena kebiasaan semacam itu, pada saat-saat tertentu Ilham merasa agak kurang dekat dengan istrinya. Ilham juga merasakan sikap kedua mertuanya agak merenggang. “Hal itu saya rasakan sejak tiga bulan usia perkawinan kami. Tapi, saya mencoba menepisnya dengan lebih mendekatkan diri kepada keluarga istri,” tambahnya sambil mengeluarkan sebungkus rokok dari tas kecil, mengambilnya sebatang, lalu memasang di antara kedua bibirnya. Dia juga menawarkan rokoknya kepada Memorandum. Tapi karena Memorandum spontan menolaknya dengan mengibaskan lengan, Ilham segera meminta maaf. “Sori, saya kira njenengan merokok,” katanya, lantas tersenyum. Tapi ketika sadar bahwa kami berada di ruang ber-AC, Ilham pura-pura batuk dan buru-buru memasukkan kembali rokoknya. Dia kemudian menarik napas panjang seperti sedang melepaskan beban yang menghimpit. Jumat, 6 Oktober 2017, adalah hari yang tidak akan bisa dilupakan Ilham. Waktu itu pulang kerja sekitar pukul 17.00. Ilham yang njujug rumah mertua tidak mendapati Tini di sana. Harapan Ilham, Tini sudah pulang. “Ibu mertua bilang, tadi Tini memang ke rumah, tapi sudah kembali sebelum azan Jumat. Tergesa-gesa saya pulang sambil membawakan tahu campur kesukaan Tini,” tuturnya. Ternyata Tini tidak ada di rumah. Upaya Ilham menanyakannya ke para tetangga tidak membuahkan hasil. Rata-rata mereka menyarankan Ilham mencari Tini di rumah mertua, seperti biasa. Ternyata sampai hampir pukul 22.00 Tini belum juga pulang. Ilham gelisah. Berbagai bayangan buruk silih berganti melintas di benaknya. Di antaranya, sepulang dari rumah ibunya Tini berjalan melamun dan disambar mobil yang melaju ugal-ugalan. Tini ditolong penabraknya ke rumah sakit dst. Ada juga bayangan Tini ke rumah tetangga yang punya sumur bis—Tini memang suka ke sana, mencuci pakaian atau korah-korah. Tidak sengaja, Tini terpeleset dan jatuh ke dalam sumur. (bersambung)
Sumber: