Ketika Lelaki Terhormat Terjerat Cinta Nafsu Pemandu Lagu (4)
Setiap Pagi dan Petang Memandangi Engkom hanya Pakai Sarung
Hendardi minta maaf, lantas menolong Engkom bangkit. Diraihnya pundak wanita itu untuk diberdirikan sampai tegak. Sambil tak lupa mendaratkan ciuman di wajah Engkom. Hedeh! Ciuman sepihak berbau pemaksaan di pintu rumah Udin begitu berkesan bagi Hendardi. Sejak itu Hendardi tidak pernah absen nongkrong di loteng belakang rumah. Setiap pagi sebelum mandi untuk berangkat kerja dan petang menjelang Magrib, Hendardi bisa dipastikan manggung di loteng. Dan tidak lupa, selalu pakai sarung. Sampai-sampai istrinya sering menggojlok, “Mulai kapan Mas Udin rajin salat?” Tapi faktanya, jangankan salat, cara berwudu saja Hendardi tidak pernah tahu. Dia beralasan berlama-lama di loteng untuk ngaji dan salat, padahal sejatinya hanya untuk memandangi dan menikmati Engkom. Loteng itu memang dibangun khusus untuk musala keluarga. Juga, kamar ayah-ibu Hendardi dan istri. Makanya dibuat semimewah seperti kamar hotel bintang lima atau vila-vila di pegunungan. Tidak hanya memandangi dan menikmati Engkom dari kejauhan sambil bersarung, Hendardi masih sering berusaha bertemu muka dengan perempuan itu. Berbagai upaya dilalukan untuk sekadar bisa ke rumah Udin di kala rumah tersebut sedang sepi. Namun, upaya itu selalu gagal. Engkom tidak pernah membukakan pintu untuk Hendardi sejak lelaki itu nekat mendaratkan ciuman di pipinya. Setiap ada ketukan atau ada bel pintu, Engkom selalu mengintip. Kalau kelihatan yang memecet bel atau mengetuk-ngetuk adalah Hendardi, pasti dibaikan. Gak direken. Itulah yang dirasakan lelaki yang bekerja di perusahaan pelat merah tersebut. Tapi, Hendardi tidak patah arang. Terakhir, Hendardi memencet bel rumah, lalu bersembunyi di balik pot bunga. Begitu pintu rumah dan pagar dibuka dan Engkom tolah-toleh kebingungan, Hendardi muncul dari balik pot dan menerobos masuk. Engkom kecolongan. “Apa mau Pak Hendar?” tanya Engkom ketika mendapati Hendari sudah duduk di kursi teras. “Mengajakmu ke rumah.” “Maaf, Pak. Saya banyak pekerjaan.” “Aku akan membayarmu,” kata Hendardi sambil melemparkan dompet me maja. Engkom tertegun. Tampaknya tidak menduga Hendardi bakal melalukan itu. “Saya tidak bisa menerima ajakan dan pemberian Pak Hendar. Saya bukan Ria yang Bapak kenal dulu. Saya engkom,” kata perempuan tersebut. “Jangan munafik. Berapa pun permintaanmu akan kubayar,” kata Hendardi sambil mengambil uang di dompet dan menghitungnya. “Berapa?” imbuhnya. “Maaf Pak Hendar. Ria sudah saya kuburkan.” “Ria masih berdiri di depanku.” “Saya Engkom. Bukan Ria. Saya tidak mau menafkahi anak saya dengan uang haram lagi. Tebusannya terlalu mahal,” kata Engkom. Hendardi memang pernah mendengar dari istrinya bahwa anak pembantu rumah sebelah, Engkom, sakit keras ketika ditinggal ibunya bekerja di sebuah tempat hiburan di Surabaya. Makanya Engkom pulang dan berjanji akan mencari nafkah untuk anak semata wayangnya dengan halal. Dia akan meninggalkan kerjaan lama dan mencari kerja baru, meski hanya sebagai pembantu rumah tangga. (bersambung) Penulis : Yuli Setyo Budi Pembaca yang punya kisah menarik dan ingin berbagi pengalaman, silakan menghubungi nomor telepon / WA 0821 3124 22 88 . Bisa secara lisan maupun tulisan. Kisah juga bisa dikirim melalui email [email protected]. Terima kasihSumber: