Panah Asmara yang Menembus Dua Titik Sasaran Berbeda (3)

Panah Asmara yang Menembus Dua Titik Sasaran Berbeda (3)

Diam-Diam Mencari Kesempatan Mencuri Cium Wanti, Muach…

  Indra sempat kecewa. Wanti yang mulai diyakini sebagai Wantinya ternyata Wanti yang lain. Saudara kembarnya. Indra semakin kecewa setelah dikabari Wantinya sudah menghadap Yang Mahakuasa. “Wanti,” kata Indra tanpa sadar menyebut panggilan Dewanti Asanti yang biasa dia sapakan kepada gadis manis tersebut. “Kapan?” sambung Indra. “Lima tahun yang lalu.” “Sakit apa?” “Tidak sakit. Sebelunya tidak sakit. Kata suamiya, mendadak pagi itu Kak Asanti mengeluh perutnya perih. Lantas muntah-muntah. Badannya demam tinggi. Ketika dibawa ke rumah sakit, Kak Asanti meninggal di perjalanan,” terang perempuan yang juga baru tahun lalu ditinggal mati suaminya itu. Kecelakaan kerja. Tiba-tiba saja di benak Indra terbayang masa kecilnya bersama Wanti. Dewanti Asanti. Waktu itu mereka berangkat sekolah dan harus menyeberangi sungai tanpa jembatan. Mereka harus berloncat-lontacan di atas batu kali. Wanti memegang erat-erat lengan Indra, yang lantas berpura-pura terpeleset agar lengannya dipegangi lebih erat. Dengan mimik ketakutan, Wanti mencari perlindungan dengan menempelkan tubuh mungilnya ke tubuh bongsor Indra. Pada saat itulah, diam-diam Indra mencuri-curi kesempatan mencium pipi Wanti. Muach… Pada waktu bersamaan Indra menoleh ke arah Dewanti Susanti. Membayangkan perempuan tersebut adalah Dewanti Asanti setelah dewasa. “Ada yang salah?” pertanyaan ini tiba-tiba keluar dari bibir Susanti. Indra tersipu. Kepalanya langsung ditundukkan. Makin hari Indra makin akrab dengan Susanti. Dewanti Susanti. Kalau sebelumnya Indra hanya menemui Susanti saat menyerahkan pakaian untuk di-laundry atau saat mengambil hasilnya, kini Indra sering mampir ke tempat usaha Susanti. Sepulang kerja, kalau dilihatnya tempat laundry Susanti sedang kosong, tidak ada pelangggan, Indra pasti mampir. Tidak jarang pula Indra sengaja ke tempat laundry  ketika sedang suntuk di rumah. Istri Indra, sebut saja Nana, bekerja sebagai aparatur sipil negara (ASN). Di kantor pemerintahan. Bagian pelayanan. Kerjanya seharian nonstop. Berangkat sebelum matahari terbit, pulang setelah matahari tenggelam. Mungkin karena itu, Nana mudah stres. Indralah yang dijadikan sasaran emosi. “Tanpa tahu salahku, aku sering dibetak-bentak. Padahal, hampir semua tanggung jawab pekerjaan rumah tangga sudah dibebankan kepadaku. Untung jam kerjaku lebih luwes,” aku Indra. “Semua tanggung jawab pekerjaan rumah tangga?” pancing Mremorandum. “Ya. Hampir semuanya. Nana hanya menanak nasi. Selebihnya jadi tugasku. Mulai beli lauk pauk dan sayur, mengantar dan mengambil laundry, serta bersih-bersih rumah. Menyapu dan mengepel. Semua aku.” “Masa tidak punya pembantu? Atau anak-anak yang bisa membantu?” tanya Memorandum. Indra tersenyum. Bukan senyum manis, tapi senyum yang dipaksakan. “Kami tidak punya pembantu. Juga tidak punya anak,” aku Indra. “Untung tidak punya anak,” imbuhnya, “Jadi tidak minder punya bapak yang selalu berada di bawah ketiak ibunya.” Nada kalimat Indra berubah. Dari yang tadinya penuh canda jadi penuh kesedihan. “Aku selalu mengalah kepada Nana.” Indra lantas diam. Cukup lama. “Dan rasanya aku sudah tidak kuat,” katanya. (bersambung)   Penulis : Yuli Setyo Budi Pembaca yang punya kisah menarik dan ingin berbagi pengalaman, silakan menghubungi nomor telepon / WA 0821 3124 22 88 . Bisa secara lisan maupun tulisan. Kisah juga bisa dikirim melalui email [email protected]. Terima kasih

Sumber: