Panah Asmara yang Menembus Dua Titik Sasaran Berbeda (1)
Perpisahan tanpa Ucap yang Tinggalkan Luka dan Kerinduan
Indra (bukan nama sebenarnya) tertegun. Pandangannya melekat cukup lama pada sosok perempuan di hadapannya. Sepertinya kenal, tapi tak bisa memastikan siapa, kapan, dan di mana pernah bertemu. Perempuan tersebut, meski sudah berumur, masih menampakkan gurat kecantikan. Usianya diperkirakan 45-50 tahun. Sepantaran dengan dirinya. Perempuan tadi begitu cekatan melayani Indra menyerahkan pakaian kotor untuk di-laundry. “Nama Bapak?” tanyanya sambil menulis tanda terima. “Indra.” Mendengar nama ini, perempuan tadi spontan mendongak dan menatap mata Indra. Indra gugup. “Ada apa?” tanya Indra. “Tidak apa,” balas perempuan itu sambil cepat-cepat menunduk. Pertemuan dan dialog singkat itu berbekas di hati dan benak Indra. Dia mencoba mengingat-ingat siapa perempuan tadi, tapi tidak segera menemukan jawab. Hal itu berlangsung berhari-hari. Pada pertemuan kedua dan ketiga, Indra masih menyimpan misteri itu. Belum ada kesempatan untuk omong-omong santai. Usaha laundry milik perempuan tadi memang baru di kompleks perumahan Indra. “Aku tahu dia juga sedikit-sedikit mencuri pandang ke arahku. Mungkin karena merasa aku terus memperhatikannya,” kata Indra di ruang tunggu Pengadilan Agama (PA) Surabaya, Jalan Ketintang Madya, beberapa waktu lalu. Kalau melihat nama yang tertera di nota pembayaran, Indra menduga perempuan tadi adalah teman sekolahnya semasa SMP: Dewanti. Seingat Indra, belum pernah ada nama seperti itu yang dia jumpai, selain gadis kecil, manis, dan imut temannya SMP itu. Indra akan selalu ingat nama Dewanti, karena kepadanyalah cinta pertama Indra tertambatkan, walau tidak pernah terucap. Dulu Indra selalu memanggil Dewanti dengan Wanti. Kadang Indra memanggilnya Anti, tapi Wanti marah-marah. Gadis hitam manis itu protes karena Anti dinilai memiliki konotasi negatif. “Kami berteman dekat, tapi tidak pernah mengungkapkan rasa sayang kami. Mungkin karena kami masih bau kencur,” kata Indra. Setelah lulus SMP, mereka berpisah. Wanti harus pindah ke luar Jawa mengikuti ayahnya yang dipindahtugaskan kantor. “Sebelum pindahan, aku sempat dolan ke rumahnya. Tapi kami tidak pernah mengucapkan apa-apa. Kami hanya saling pandang dengan perasaan kehilangan.” Sejak itu, setiap mengenal perempuan, Indra selalu membanding-bandingkannya dengan Wanti. Tentu Wanti sewaktu beranjak remaja. Wanti yang manis dan imut. Wanti yang selalu tersenyum bila disapa dan menangis setiap digoda. “Senyum itulah yang tidak bisa aku lupakan,” kenang Indra, yang menambahkan bahwa senyum perempuan pemilik usaha laundry itu sangat mirip dengan senyum Wanti. “Mungkinkah perempuan memang dia? Pikiran itu terus menyiksa aku.” (bersambung) Penulis : Yuli Setyo Budi Pembaca yang punya kisah menarik dan ingin berbagi pengalaman, silakan menghubungi nomor telepon / WA 0821 3124 22 88 . Bisa secara lisan maupun tulisan. Kisah juga bisa dikirim melalui email [email protected]. Terima kasihSumber: