Berebut Posisi di Ruang Tahanan, Dilayar Bergiliran
Surabaya, Memorandum.co.id - Dampak pandemi Covid-19 ibarat bola liar yang harus terus diantisipasi seluruh elemen masyarakat. Tak terkecuali dari sisi penegakan hukum di negeri ini. Program asimilasi narapidana yang dikeluarkan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) RI, salah satu antisipasi kendati sempat memicu polemik. Mirisnya rumah tahanan (rutan) atau lembaga pemasyarakatan (lapas) yang sudah overload diabaikan sebagai pertimbangan utama menjadi klaster baru penyebaran. Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly, bahkan di awal pandemi mengirimkan surat kepada Ketua Mahkamah Agung RI, Jaksa Agung RI, serta Kapolri untuk menunda pengiriman tahanan ke rutan atau lapas sementara waktu. Instruksi ini yang memaksa ruang tahanan di jajaran kepolisian seolah jadi penampungan sementara. Padahal di sisi lain, aparat juga masih harus melakukan kewajibannya sebagai penegak hukum dengan menangkap pelanggar keamanan dan ketertiban di masyarakat. Sehingga menyeruak kekhawatiran, kondisi ini membuka celah pihak yang ingin mengambil keuntungan dengan mengabaikan perundang-undangan. Semisal melepas tersangka kasus-kasus hukum ringan dengan dalih bilik penjara sudah penuh sesak. Terutama untuk penanganan di jajaran polsek. Apalagi di Kota Surabaya, tidak semua mapolsek punya ruang tahanan dengan daya tampung besar. Kekhawatiran ini ditepis Kasat Tahanan dan Barang Bukti (Tahti) Polrestabes Surabaya Kompol Agung Widoyoko. “Sejak masa pandemi, memang ada instruksi dari pusat tahanan tidak dikirim ke rutan atau lapas selama masih proses untuk mencegah pandemi Covid-19,” terangnya. Statusnya menjadi tahanan titipan, menurut Agung, sudah ada ketentuannya. Termasuk dalam penanganan atau pemenuhan hak tahanan. “Di Polrestabes Surabaya, ruang tahanannya punya kapasitas 300-an orang. Tapi kalau sudah ada putusan pengadilan, baru dikirim ke rutan atau lapas secara bergiliran, setidaknya dua minggu sekali,” sebutnya. Karena itu, kendati polisi sudah punya aturan masa tahanan antara 60 sampai 120 hari, kondisi sesak atau berkurangnya pemenuhan hak tahanan tidak sampai terjadi dengan adanya instruksi dari Mabes Polri yang bersinergi dengan kejaksaan dan kemenkumham. Protokol kesehatan juga jadi pertimbangan ada beberapa pemenuhan hak tahanan tidak seperti di masa normal. Semisal jam besuk keluarga yang ditiadakan menghindari penyebaran wabah. “Tapi ada kebijakan-kebijakan yang bisa diambil. Bukan peraturan. Seperti jika ada keluarga tahanan yang sakit keras, bisa dikawal keluar atau kita beri fasilitas video conference,” tutup Agung Widoyoko menyebut banyaknya kekhawatiran hak tahanan dikurangi akibat pandemi. (fdn/epe/nov)
Sumber: