Berkhayal Di-Taaruf Putra Pemangku Ponpes Tajir

Berkhayal Di-Taaruf Putra Pemangku Ponpes Tajir

Oleh: Yuli Setyo Budi, Surabaya Hari itu rumah keluarga Darling kedatangan tamu istimewa: keluarga Ilham yang ingin ber-taaruf vs Darling. Ternyata mereka tidak membawa kendaraan istimewa seperti bayangan Darling. Mobilnya hanya Xenia keluaran pertama. Yang datang pun bukan keluarga besar, melainkan hanya bertiga: Ilham dan ayah-ibunya. Penampilan mereka biasa-biasa saja, bahkan cenderung ndesani. Ilham mengenakan kemeja warna putih, songkok, plus celana katun; ayahnya malah memakai bajo koko dipadu sarung; dan ibunya membalut tubuh dengan busana muslim syari. Darling sempat shock menemui kenyataan tersebut. Padahal, dia kadung berjanji menerima pinangan keluarga Ilham. Aku rasanya ingin kabur. Apalagi, setelah melihat wajah Ilham yang dingin dan seperti cuek, kata Darling. Memang tak begitu ganteng dibanding Arbi. Tapi, juga terlalu jelek dibandingkan Nardji. Rata-ratalah. Sedang-sedang saja. Hanya, fakta yang menyakitkan bahwa keluarganya ternyata tidak tajir seperti bayanganku, aku Darling. Dalam bayangannya, saat taaruf keluarga Ilham memboyong keluarga besarnya dan datang ke rumah mengendarai sederet mobil mewah. Minimal Honda City, Accord, Mercedes E-Class, BMW 3 Series, atau sekelasnya. Minimal. Bukan Daihatsu Xenia keluaran terlama. Aku sempat down dan selalu melihat ke arah Pakde dengan tatapan kecewa. Tapi, beliau tidak mengerti yang aku maksud. Aku malah dianggap grogi dan salah tingkah, kata Darling. Wajar bila Pakde menganggap Darling grogi, salah tingkah, dan canggung. Sebab, hari itu, seperti kebiasaan bila bepergian bersama keluarga, Darling diharuskan berbusana muslim. Padahal, keseharian gadis itu perkaian serba terbuka dan cenderung kelelaki-lakian. Makanya, Pakde sempat mendekatinya dan meminta keponakannya itu tenang dan bersabar. Pakde sudah memberi tahu mereka kok kalau kamu belum terbiasa pakai pakaian seperti ini. Mereka maklum dan menyadari. Kamu nggak usah grogi, bisik Pakde. Darling terdiam, tidak membantah semua omongan Pakde. Darling ahirnya hanya bisa pasrah. Dia lebih banyak menunduk. Hanya sekali-sekali mendongakkan wajah bila ada yang mengajak bicara. Kesannya Darling malah tampak seperti gadis lugu dan pemalu. Waktu yang berjalan hanya sekitar setengah jam terasa berasa amat lambat seperti setengah abad. Keringat dingin sampai membasahi seluruh tubuh Darling. Begitu selesai, Darling spontan berdiri dan seperti terbang ke kamar untuk berganti busana. Besok kita langsung mengadakan kunjungan balasan ke rumah Ilham. Sekarang istirahat yang tenang, kata ayahnya dari balik pintu kamar tanpa mengetuk dan membukanya. Besok? Apalagi yang akan kutemui di sana? batin Darling agak kecewa. Dia hanya menanggapi pemberitahuan ayahnya dengan satu kata, Ya. Sigkat dan penuh keputusasaan. (bersambung)

Sumber: