Cinta Suci yang Menembus Tabir Dunia Jin dan Dunia Manusia (36)

Cinta Suci yang Menembus Tabir Dunia Jin dan Dunia Manusia (36)

Celurit Berujung Emas Sultn Zalim Meluncur Menuju Sasaran, Leher

Paman Karim terdeteksi berada di kawasan Lawu. Ghadi lega mendapat informasi Laila dan Paman Karim dalam kondisi baik-baik saja. Segera dia membungkus bola dan bersiap-siap menuju Antartika. Ghadi hendak merapal doa melipat bumi dengan tujuan Antartika. Namun belum sampai mengucapkan doa, tiba-tiba hatinya berubah. Ingin melihat kondisi Paman Karim. Keinginan itu sangat kuat. Lebih kuat dibandingkan keinginan bertemu Laila. Ada apa ini? Tanpa berusaha mencari atas jawab pertanyaan tadi, Ghadi mengubah tujuan pendaratan melipat bumi. Tak lagi ke Antartika, melainkan ke lereng Lawu. Dan wes… jreng. Ghadi sudah berdiri di lereng Lawu sisi Cemoro Sewu. Berada di tengah pertempuran. Di antara Paman Karim dan dua pengeroyok. Sepintas dia melihat sebuah gada nyaris menghantam kepala Paman Karim. Ghadi mendorong Paman Karim hingga terjatuh. Pukulan keras gada berujung tengkorak itu hanya menyerampet rambut. “Suwun,” kata Paman Karim sambil menata posisi tubuh. Melihat kedatangan Ghadi, dua pengeroyok Paman Karim surut dua langkah. “Bagus. Ulo marani gepuk. Sekali gebuk dua ular bakal mampus sekalian,” kata seorang di antara pengeroyok Paman Karim. “Nggak kebalik? Ada gepuk marani ulo?” kata Ghadi sambil tersenyum. “Oh ya, sebelum pertarungan berlanjut, ada salam dari anakmu yang nyawanya sudah terpisah dari raganya,” imbuh Ghadi sambil menatap mata satu di antara pengeroyok tadi, Sultan Tara. Satu pengeroyok lagi, Sultan Zalim, hanya diam. “Maaf Bapak Mertua, terpaksa Ananda menantu kinasih harus melawan,” lanjut Ghadi. Sambil masih tersenyum, dia membungkukkan tubuh ke arah Sultan Zalim. Bukannya membalas candaan Ghadi dengan tarung canda, Sultan Zalim malah menyerang Ghadi. Celurit berujung emas meluncur deras menuju sasaran. Leher. Ghadi waspada. Ia pelorotkan tubuh dan menahan laju celurit dengan mengubah tongkat menjadi cambuk. Ujung celurit dibantol dan disentek keras. Sultan Zalim kaget. Getaran yang dialirkan Ghadi terasa bagai setrum bertegangan tinggi. Sultan Zalim terpental. Celurit terlepas. Ghadi melirik pertarungan di sebelah. Antara Paman Karim dan Sultan Tara. Paman Karim terdesak. Berkali-kali terpaksa melompat mundur, ke kiri dan ke kanan, bahkan menjadikan batu dan pepohonan untuk menyembunyikan diri. “Sebaiknya kami bertukar musuh,” batin Ghadi sambil melompat ke atas batu di depan Paman Karim. Langsung memborbardir Sultan Tara dengan ujung cambuk. Paman Karim paham dan segera ganti mengambil poisi di depan Sultan Zalim. Tanpa membuang waktu, dia sapu kaki musuh yang belum tegak sempurna. Kakinya masih hoyag-hayug sempoyongan pasca dialiri listrik tegangan tinggi oleh Ghadi. “Sebaiknya Kakanda menyerah. Kondisi sudah berubah. Pasukan koalisi Kakanda sudah korat-karit,” kata Paman Karim. Sultan Zalim hanya diam. Mulutnya bagai terkunci. Walau begitu, dia masih tetap menghadapi Paman Karim dengan serangan-serangan balik. Hanya, tampaknya itu dilakukan dengan tidak sepenuh hati. Kenyataan tersebut dirasakan Paman Karim, yang kemudian juga melonggarkan serangan. Kini mereka tampak seperti anak kecil sedang bermain perang-perangan. “Kalian sembunyikan di mana Laila?” tanya Sultan Zalim. (bersambung)     Penulis : Yuli Setyo Budi Pembaca yang punya kisah menarik dan ingin berbagi pengalaman, silakan menghubungi nomor telepon / WA 0821 3124 22 88 . Bisa secara lisan maupun tulisan. Kisah juga bisa dikirim melalui email [email protected]. Terima kasih

Sumber: