Cinta Suci yang Menembus Tabir Dunia Jin dan Dunia Manusia (23)

Cinta Suci yang Menembus Tabir Dunia Jin dan Dunia Manusia (23)

Pangeran Diponegoro Ditangkap Sekeluar dari Goa Selarong

Pada penglihatan berikut, Ghadi mendapati dirinya berdiri di tengah pertempuran dahsyat. Sebuah bayonet, senjata api laras panjang berujung belati, nyaris merobek dada andai tidak segera dihindari.   Ghadi kayang. Ujung bayonet—entah milik siapa—menyapu tempat kosong di atas tubuh. Serangan berikutnya datang. Sebuah tendangan keras. Kali ini tepat mengenai kepala. Des. Ghadi nggliyeng. Untung tidak sampai menyebabkan jatuh dan tersungkur. Secepat yang ia mampu, santri Kiai Akhyat Mentikan, Jalan Brawijaya, Mojokerto, ini menjadikan tangan kiri sebagai tumpuan. Selanjutnya Ghadi memutar tubuh seperti gangsing miring dan mendaratkan kaki di tanah. Matanya menyelidik penyerangnya. Ternyata seseorang berpakaian serdadu Belanda seperti dalam film-film yang dibintangi Suzana. Tapi lucunya, pemilik tubuh yang terbalut seragam serdadu itu berkulit cokelat kehitam-hitaman. Kumuh. Dekil. Ghadi memperkirakan dirinya berada di tengah perang pada zaman penjajahan. Perkiraan itu makin kuat setelah dia melihat sesosok pria berjubah dan bersorban putih mengamuk menghadapi musuh. Ia seperti menari-nari lincah di atas kuda yang gagah mirip Petir dan Bledek. “Pangeran Diponegorokah dia?” batinnya. Ghadi yang hendak menyabetkan tombak ke penyerangnya mengurungkan niat. “Kasihan. Mereka hanya begundal penjilat penjajah. Serdadu-serdadu bayaran,” batinnya sambil memutar senjata di tangan. Bukan ujung runcing yang dipakai menyerang, tapi gagang pegangan. Sang penyerang langsung roboh. Tidak mati, hanya pingsan. “Mundur. Mundur. Mundur.” Sebuah teriakan keras terdengar. Ghadi surut. Dia menghentikan segala gerakan sambil membaca situasi. “Kita merapat ke Selarong,” kata sosok di sebelahnya. Seorang lelaki bercelana hitam gombrong dan berbaju lurik. Ghadi menurut. Melompat mengikuti orang tadi dan baru berhenti di tepian hutan. “Kita terdesak. Kalau perang ini diteruskan, kita akan habis,” kata lelaki bernama tadi. Dia berkata banyak pemimpin yang menyerah, seperti Pangeran Mangkubumi dan Panglima Sentot Alibasya. Kiai Mojo malah sudah ditangkap. “Sedadu Jenderal De Kock sudah mengepung. Perang tidak mungkin diteruskan. Sebagian besar saudara kita menemui syahid,” imbuhnya. Dalam rapat di Selarong, sosok yang disebu-sebut sebagai Pangeran Diponegoro menyatakan mungkin akan menyerah. Ini dilakukan demi keselamatan para mujahid dan rakyat. Tapi dengan syarat, sisa pasukan yang ada harus dibebaskan. “Kalau Ndoro benar-benar menyerah, bisakah janji Belanda dipercaya? Ndoro akan dibunuh,” kata seorang pejuang. “Kita serahkan semuanya kepada Allah. Kita sudah berusaha semampu kita. Saya yakin sepeninggal kita akan lahir pejuang-pejuang baru sampai bangsa ini bebas merdeka,” kata Pangeran Diponegoro. Dengan berat hati, sisa-sisa pasukan menerima keputusan tersebut. Namun belum sempat penyerahan diri dilakukan, Pangeran Diponegoro ditangkap tidak lama setelah melangkah keluar dari pintu goa. Para pejuang tak bisa berbuat banyak. Hanya menangis menyaksikan pemimpinnya digelandang serdadu Belanda. “Kasihan. Beliau pasti akan dibunuh,” kata seorang pemuda . “Tidak,” sahut Ghadi, “Beliau akan meninggal di pengasingannya di Makassar.” “Kisanak tahu dari mana?” (bersambung)   Penulis : Yuli Setyo Budi Pembaca yang punya kisah menarik dan ingin berbagi pengalaman, silakan menghubungi nomor telepon / WA 0821 3124 22 88 . Bisa secara lisan maupun tulisan. Kisah juga bisa dikirim melalui email [email protected]. Terima kasih

Sumber: