Cinta Suci yang Menembus Tabir Dunia Jin dan Dunia Manusia (22)

Cinta Suci yang Menembus Tabir Dunia Jin dan Dunia Manusia (22)

Cahaya seperti Sokle Memancar dari Puncak Bukit, Mak Hlab…

Ghadi mengambil napas panjang. Dalam transnya dia merasakan tubuhnya lunglai. Seharian lebih mendaki, tapi belum juga berhenti. Dia amati lingkungan sekitar. Banyak pohon cemara. “Di mana kita?” tanya Ghadi kepada seseorang di depannya. “Entahlah. Sudah tiga hari kita berjalan. Mudah-mudahan Kanjeng Prabu berkenan kita beristirahat di sini,” kata seseorang tadi. Waktu itu matahari sedang berjalan pelan menuju tempat peraduan. Bunyi ciprat air jatuh menjadikan suasana sangat tenang dan nyaman. “Kita bermalam di sini,” kata seorang lelaki yang berpakaian paling mewah di antara rombongan. “Syukurlah,” kata pria yang tadi diajak omong Ghadi, “Kanjeng Prabu Kertawijaya berkenan kita istirahat di sini.” “Banyak pohon cemara di sini,” ujar lelaki yang disebut sebagai Kanjeng Prabu Kertawijaya. “Endah. Akeh wit cemoro. Cemoro sewu,” imbuhnya. Rombongan kecil itu berhenti dan membuat api unggun. Satu per satu lantas klesetan dan akhirnya tertidur. Kecapaian. Namun, sampai purnama tegak lurus dengan hamparan bumi, Ghadi belum bisa memicingkan mata. Baung anjing bersahut-sahutan, menimpahi bunyi jankrik dan wangwung. Sesekali suara gemerincing bulu landak terdengar nyaring bertingkahan dengan bunyi gemericik air. “Apa rencana Prabu berikutnya?” tanya seorang lelaki berpenampilan nyentrik yang sedari tadi tidak pernah berjauhan dari Prabu Kertajaya. “Aku tidak tahu Naya. Kalau menurutmu bagaimana?” Lelaki yang dipanggil Naya tidak segera menjawab. Dia malah memain-mainkan ujung kaki. Mungkin untuk mengusir hawa dingin. Ghadi melihat wajah Naya. Tenang dan sejuk. “Seorang pemikir. Mungkin dia penasihat Prabu,” batin Ghadi. “Apa sebenarnya tujuan hidup Prabu? Ini penting untuk menentukan langkah selanjutnya,” kata Naya sesaat kemudian. “Aku sudah tidak punya tujuan hidup lagi, Naya. Apa pun yang akan terjadi, terjadilah.” “Itu bukan jawaban dan pribadi Prabu. Prabu yang kukenal adalah lelaki perkasa yang punya arah hidup. Apakah ada kaitannya dengan sikap Raden Bagus Kasan?” “Entahlah. Aku ingin secepatnya menjauhkan diri dari keribetan dunia ini.” “Meninggalkan keraton?” tanya Naya. Prabu Kertawijaya tidak menjawab. Dia berjalan menjauh. Memukul batang pohon cemara hingga satu-dua bunganya gugur ke tanah. “Aku beniat meninggalkan semuanya.” “Baiklah,” kata Naya sambil berdiri dan mendekati Prabu. Kemudian berbisik di dekat telinga Prabu. Ghadi mencoba mendengarkan, tapi terlalu lirih untuk ditangkap. Tampaknya Naya menggunakan ilmu untuk meredam suaranya agar tidak bisa didengar oleh siapa pun. Sampai matahari terbit, Ghadi tidak sempat memejamkan mata. Bahkan sampai rombongan memutuskan meneruskan perjalanan. Tapi kali ini tidak lama. Sudah hampir mencapai puncak gunung. “Kita sudah sampai,” kata Naya sambil mengawasi sekeliling. Mereka kemudian berhenti. Setelah matahari tenggelam, Prabu Kertawijaya pamit kepada rombongan akan bertapa di salah satu puncak perbukitan. Demikian pula Naya. Dia pamit bertapa di puncak bukit yang lain. “Kalian pulang. Kita sampai di sini saja,” kata Prabu, yang diikuti anggukan Naya. Semua anggota rombongan turun. Begitu pula Ghadi. Tapi, di tengah jalan dia kembali naik. Belum lama, dia melihat kilatan cahaya terang memancar dari salah satu puncak bukit. Putih dan terang. Seperti sokle. Tapi tidak lama. Mak-hlab, kemudian padam. Langit kembali gelap remang. Ghadi kembali jalan. Baru melangkah, dia berpapasan dengan Prabu Kertajawijaya bergegas turun. Penampilannya lain. Seluruh pakaian mewah dia tanggalkan. Dia kenakan pakaian serba hitam dan caping gunung. Ghadi pura-pura tidak mengenali dan menyapa, “Sugeng sonten.” “Sonten.” “Kalau boleh tahu, Kisanak siapa? Hendak ke mana?” Prabu terkejut, tapi kemudian tersenyum, “Dalem Parmin, penduduk desa lereng gunung.” (bersambung)   Penulis : Yuli Setyo Budi Pembaca yang punya kisah menarik dan ingin berbagi pengalaman, silakan menghubungi nomor telepon / WA 0821 3124 22 88 . Bisa secara lisan maupun tulisan. Kisah juga bisa dikirim melalui email [email protected]. Terima kasih

Sumber: