Cinta Suci yang Menembus Tabir Dunia Jin dan Dunia Manusia (16)

Cinta Suci yang Menembus Tabir Dunia Jin dan Dunia Manusia (16)

Lanjutkan Bulan Madu yang Tertunda; Sampai Nyenyek, Sampai Legrek

Waktu sudah beranjak malam. Pertempuran di-pause. Paman Karim yang tidak menemukan Ghadi dan Laila di medan tempur mencari keduanya. Pakde Limin tinggal bersama prajurit yang tersisa untuk merawat yang luka dan menguburkan yang mati. “Untung aku menemukan kalian pada waktu yang tepat,” kata Paman Karim sambil mengobati luka di kaki Laila. Racun yang terbuat dari ekstrak tulang mayat purba tersebut memang sulit disembuhkan. Kata Paman Karim, di dunia jin, hanya ada dua orang yang bisa mengobati luka akibat paparan racun tadi. Dia sendiri dan gurunya. Dan, guru yang mengajarkan meramu obatnya sudah meninggal dua tahun yang lalu. “Kang Limin (sebutan Paman Karim untuk Pakde Limin, red) sempat belajar ke beliau, tetapi belum sampai tuntas. Aku yang menyempurnakannya,” kata Paman Karim. “Bagaimana kondisinya (pertempuran tadi), Paman?” tanya Ghadi. “Masih dihitung pakdemu berapa korban di pihak kita dan berapa kira-kira di pihak musuh. Yang jelas, pertempuran pasti masih akan lama.” Paman Karim kemudian pamit meninggalkan Ghadi dan Laila di rumah Emak. “Rawat Laila barang dua-tiga hari, insya Allah sudah akan baikan,” pamit Paman Karim, yang kemudian melesat di keremangan malam. Saat itulah Ghadi baru menyadari sedari tadi belum bertemu Emak. Dan, ternyata rumah dan warungnya berantakan tidak karuan. Sebagian bahkan hangus dan tinggal puing-puing. “Ternyata kita berada di dapur Emak,” kata Laila, yang yakin bahwa rumah dan warung Emak dirusak prajurit yang mencarinya, tempo hari. Lantas, ke mana Emak? “Tampaknya kita juga harus kehilangan si Bledek,” kata Laila. Pendekar Ghadi mengangguk mengiyakan. Setelah lewat lima hari, dua hari lebih lama dari perkiraan Paman Karim, luka di kaki Laila sudah baikan. Sudah kering. Kulit yang menghitam dari pangkal mata kaki hingga di bawah lutut sudah kembali mulus. Masih ada bercak titik-titik, tapi hampir tidak terlihat. Kesempatan istirahan tersebut dimanfaatkan Ghadi dan Laila untuk melanjutkan malam pertama yang tertunda. Selama lima hari itu tidak terhitung berapa kali Ghadi mendendangkan Naik-Naik ke Pundak Gunung dan Laila merasakan Mandi Madu. Boso Suroboyone: sampek nyenyek, sampek legrek. Pada saat hendak bergabung kembali dengan Pakde Limin, Paman Karim, dan para mujahidin, Ghadi dan Laila bersiap-siap menuju tempat tujuan. “Bagaimana kalau kita coba memanggil Bledek?” kata Kaila minta pertimbangan Ghadi. “Tidak ada salahnya. Siapa tahu kuda pintar itu berhasil sembunyi dan bertahan sampaisekarang,”  sahut Ghadi. Laila kemudian melipat bibirnya dengan jari dan menyuitkan siulan panjang dan berirama. Suaranya yang nyaring menembus sela-sela dedaunan entah sampai di mana. Namun tidak tereaksi. Laila mengulanginya. Lebih panjang dan lebih nyaring. Tetap tidak ada respons. “Mungkin Bledek sudah sangat jauh dari sini. Mudah-mudahan kita masih bisa bertemu lagi dengan dia,” kata Ghadi sembari mulai merapal doa melipat bumi. Tiba-tiba terdengar ringkik kuda. Khas suara Bledek. Laila tersenyum. Dia mengawasi sekeliling. Dari rerimbunan ilalang dan perdu, muncullah Bledek yang mengangkat dua kaki depan. Di punggungnya duduk sosok berpakaian serba hitam yang menutupi wajah hingga ujung kaki. (bersambung)     Penulis : Yuli Setyo Budi Pembaca yang punya kisah menarik dan ingin berbagi pengalaman, silakan menghubungi nomor telepon / WA 0821 3124 22 88 . Bisa secara lisan maupun tulisan. Kisah juga bisa dikirim melalui email [email protected]. Terima kasih

Sumber: