Tangis Terisak setelah Terdesak

Tangis Terisak setelah Terdesak

Oleh: Yuli Setyo Budi, Surabaya Pertahanan terakhir dari desakan kebutuhan adalah iman. Terakhir lagi adalah kehormatan. Bagi banyak orang yang terdesak, kehormatan juga sebuah aset yang layak diperjualbelikan. Kadang juga berhasil dijual dengan harga lumayan. Memorandum harus balik ke penjual nasi goreng itu mangkal. Kendati sebenarnya nasi goreng bukan makanan kesukaan, tapi ini harus dilakukan. Rasa penasaran dalam dada lebih butuh mendapatkan jawaban. Semoga Prayogi bisa datang lebih awal. Pukul 20.00, kendati gerimis, Memorandum tetap datang dan menunggu Prayogi di tempat biasa. Tuhan mengabulkan doa Memorandum. Prayogi datang beberapa menit kemudian. Alhamdulillah. “Kok gerimis begini, anaknya tetep aja diajak sih Mas. Nanti malah sakit,” kata Memorandum yang menyapa Prayogi. “Di kos gak ada yang jaga, Mas. Nanti malah ada apa-apa kalau saya tinggal,” kata Prayogi tanpa menjelaskan apa yang dimaksud dengan ada apa-apa. “Seperti biasa Mas. Nasi goreng dan mi goreng satu. Dibungkus ya,” kata Prayogi kepada penjual nasi goreng. Kami pun kembali berbincang. Basa basi. Lalu kami terdiam cukup lama. Sepertinya kami sama-sama bingung harus memulai dari mana. Akhirnya setengah hati dan dengan berat, Memorandum terpaksa bertanya, ” Mas tahu kerjaan istri Mas di situ?” “Tahu, Mas. Aku bukan orang suci kok. Dulu sebelum menikah, aku juga pernah masuk ke begituan. Tapi, tidak di situ,” kata Prayogi sambil mengarahkan pandangan ke ruko tempat Ria bekerja. “Trus..,” kata Memorandum makin bingung. “Mending begini, Mas. Aku tahu, daripada Ria melakukan itu karena keinginannya. Ini untk memenuhi kebutuhan. Kalau mengandalkan aku, kebutuhan dan utang tidak akan mungkin terselesaikan,” kata Prayogi yang mulai sedikit menundukkan kepala. “Kok gitu,” tanya Memorandum. Akhirnya Prayogi pun bercerita. Kejadian bermula saat Ria menjadi pekerja salon. Gaji pekerja salon memang tidak banyak. Untuk membayar bunga utang saya masih kurang, belum lagi ditambah kebutuhan lainnya. Uang kos, biaya makan, dan susu anak. “Berat dan besar banget mas,” kata Prayogi menghela nafas panjang dan dalam. Akhirnya, suatu malam, Ria pulang terlambat. Sikapnya malam itu diakui Prayogi sangat berbeda. Ria pulang dan bersikap manja kepadanya. Sangat manja, malah. “Aku ingat malam itu, kami bercinta. Aku sih semula menyangka dia memang sedang pengen,” kenang Prayogi. Padahal, kata Prayogi, pagi harinya Ria suntuk karena besok harus membayar bunga utang. Tidak boleh telat karena bunganya akan berbunga. Bunga Rp 3 juta itu akan ditambah Rp 300 ribu bila telat sebulan. Usai bercinta, sambil masih memeluk tubuh Prayogi, Ria menangis dan mengaku telah berdosa. Sambil terus menangis, Ria mengeluarkan uang sejumlah bunga pinjamannya dari tas. Prayogi tersedak dan kaget melihat Ria membawa uang sebanyak itu. Secepat itu. Ria mengaku malam itu terpaksa menerima godaan seorang laki-laki pelanggan salonnya untuk kencan. Ria mengaku sudah sering pelanggan itu datang dan menggoda, tapi dirinya selalu menolak. Sampai akhirnya, saat terdesak harus membayar bunga utang itu, pelanggan tadi kembali datang. Saat pelanggan itu menggoda, Ria menerima dengan syarat: imbalannya adalah sejumlah tagihan bunga pinjaman yang harus dibawanya pulang kerja. Uang itulah yang malam itu ditunjukkan kepada Prayogi. “Aku shock Mas. Sampai pagi aku gak bisa tidur. Ria pun terus terisak dan tidur memunggungiku. Aku binggung antara marah dan malu karena sudah tidak mampu menjadi tulang punggung keluarga,” kata Prayogi. Suasana dingin penuh tangis itu berlangsung sampai pagi. Sampai beberapa hari kemudian. “Maafkan aku Ria, yang sudah menjadi bebanmu selama ini,” akhirnya Prayogi yang memulai menyapa. Ria yang mendengar itu, tidak menjawab. Tapi, malah menghambur dan memeluk kaki suaminya. “Ria yang salah Mas. Ria yang sudah berkhianat. Sekarang terserah Mas,” kata Ria ditirukan Prayogi. Tangis pun kembali pecah. Prayogi dan Ria basah oleh air mata. (*/bersambung)    

Sumber: