Cinta Suci yang Menembus Tabir Dunia Jin dan Dunia Manusia (15)

Cinta Suci yang Menembus Tabir Dunia Jin dan Dunia Manusia (15)

Swiiing… Pedang Ghadi Meluncur Hendak Memotong Kaki Laila

Tiba-tiba udara dipenuhi asap hitam dan bau busuk. Bhadi menajamkan daya pandang dan daya dengar. Sebuah desingan mendekat. Bukan benda keras atau cair, tapi sebentuk lendir warna merah. Ketika lendir tersebut meluncur deras nyaris menyentuh pundak, Ghadi berkelit. “Lava neraka,” batin Ghadi mengomentari senjata rahasia bangsa jin berupa ludah yang disemburkan Sultan. Ghadi hendak membalas, namun dia menyadari Sultan sudah kabur memanfaatkan sedetik-dua detik kelengahan musuh. Ghadi tersenyum. Dia balik badan mencari keberadaan para penggede musuh yang sepadan. Ternyata semua sudah dihadapi teman-temannya yang berkemampuan seimbang. Ghadi lantas melompat sangat tinggi dan melihat keadaan dari atas. Masya Alah, dia melihat istrinya kewalahan menghadapi Pangeran Sabrang Kali. Ghadi melentik turun. Dia melihat sebenarnya kemampuan Putri Laila tidak kalah dari lawan. Laila hanya kalah tenaga. Maklum, laki-laki vs perempuan. Ghadi mendarat tepat di tengah keduanya. Pangeran Sabrang Kali dan Putri Laila kaget. Mereka tidak menduga kemunculan Ghadi yang meluncur deras dari langit seperti meteor jatuh. “Istriku yang cantik bukan lawan sebanding. Mari kita menari bersama,” kata Ghadi kepada Pangeran Sabrang Kali setelah mendarat dengan sempurna. Dia memberi isyarat mundur kepada Laila. Pangeran Sabrang Kali tertawa. “Suami yang baik. Sayang umurnya segera berakhir,” katanya. Berkata begitu, Pangeran Sabrang Kali melepaskan senjata dari tangan kanan-kiri. Yang satu diarahkan ke Ghadi, satu ke Laila. Celaka bagi Laila. Tak menyangka mendapat serangan tiba-tiba, dia tidak berhasil menghindar secara sempurna. Tumitnya tersambar satu dari sejuta bintang yang dilempar musuh. Ghadi melihat sepintas Laila terseok. Tidak sampai jatuh, tapi luka tersebut pasti akan sangat mengganggu. Dia segera merapal doa mengubah tubuh jadi bayangan sekaligus doa melipat bumi. Tubuh Laila disambar dan dibawa lari. Ghadi tidak sempat menentukan lokasi pendaratan. Dia hanya membayangkan tempat yang pernah disinggahi dan diyakini cukup aman. Ternyata pasangan suami-istri itu mendarat di halaman belakang rumah wanita paruh baya yang pernah dititipi Bledek, kuda putih Laila. Mak pemilik warung. Ghadi segera menurunkan Laila. Ternyata kaki Laila yang terkena senjata Pangeran Sabrang Kali membusuk. Hitam dan berbau sengak. Seperti bau mayat diawetkan. “Kamu harus memotongnya. Segera,” kata Laila. “Tidak. Paman Karim akan mengobati dan menyelematkan kakimu,” kata Ghadi sambil mengelus kaki Laila. “Sayang kalau harus dipotong. Aku akan mencari Paman Karim,” imbuhnya. “Tidak mungkin, Kak. Kalau harus menunggu bertemu Paman, racunnya sudah terburu menyebar dan mengancam nyawa,” kata Laila. Wajahnya menyeringai menahwan nyeri. “Jangan ragu,” pinta perempuan muda tersebut, “Sampai di bawah lutut. Aku sudah merasakan betisku membara seperti dilumuri adonan lava.” Ghadi ragu. Walau begitu, dia harus merelakan kaki tersebut demi nyawa Laila. Diangkatnya pedang dan diayunkan untuk memotong kaki Laila. Perempuan yang sangat dia cintai, yang baru sekali memberinya kenikmatan surgawi. Swiiing… kilatan pedang Ghadi meluncur deras. Ketika hendak menyentuh kulit yang membungkus kaki Laila, pedang tersebut terlampar dan menancap ke dinding bambu rumah Mak pemilik warung. Ada kekuatan yang mendorong pedang tadi. Kekuatan yang tidak disadari berupa apa dan dikendalikan oleh siapa. Ghadi dan Laila segera menoleh ke pintu dan melihat bayangan silhuet dibalut cahaya. Bukan cahaya matahari, melainkan cahaya purnama. (bersambung)   Penulis : Yuli Setyo Budi Pembaca yang punya kisah menarik dan ingin berbagi pengalaman, silakan menghubungi nomor telepon / WA 0821 3124 22 88 . Bisa secara lisan maupun tulisan. Kisah juga bisa dikirim melalui email [email protected]. Terima kasih

Sumber: