Jalan Darat
Oleh: Dahlan Iskan UNTUNG sudah ada jalan tol. Dari Surabaya ke Jakarta. Menjadi ada pilihan. Saya pun sudah tiga kali pulang-pergi lewat jalan itu. Sejauh 750 km. Terakhir hari Minggu siang lalu. Di saat pandemi seperti ini banyak yang memilih ke Jakarta lewat tol. Merasa lebih aman –dari penularan Covid-19. Mereka juga tidak mau berhenti makan di rest area. Agar lebih terhindar dari kontak dengan orang lain. Waktu melewati tol dari Surabaya sampai Solo, saya tidak merasa baru lagi. Sudah berkali-kali di sektor itu. Sampai hafal di mana harus waspada. Apalagi Surabaya-Madiun. Setiap pulang kampung ke Magetan tidak pernah lagi lewat jalan lama. Tapi setiap lewat tol itu tetap saja saya mengucapkan terima kasih kepada Presiden Jokowi. Yang memprioritaskan pembangunan jalan tol di masa kepresidenannya. Tentu tanpa Pak Jokowi jalan tol itu akan jadi juga. Hanya saja mungkin lebih lama. Izin-izin pembangunan jalan tol di sektor itu sudah keluar sejak zaman Pak Harto. Tapi macet karena krismon tahun 1998. Banyak tanah yang sudah dibebaskan di zaman Presiden SBY. Termasuk tanah saya yang sekarang menjadi bagian dari bundaran Waru, dekat Surabaya. Yang nilainya jauh lebih kecil dari harga pembelian sebelumnya. Tapi ya sudahlah. Untuk kepentingan umum. Di sektor Surabaya-Solo ini saya harus memberikan pujian tinggi kepada kontraktor maupun pengawasnya. Terutama sub-sektor Madiun-Solo. Menurut perasaan saya, di sub-sektor inilah permukaan jalannya paling bagus. Saya bisa memacu kendaraan, maaf, sampai 160 Km per jam. Apalagi jalannya juga lebih sepi. Di sub-sektor selanjutnya (Solo-Salatiga) juga bisa ngebut. Kualitas jalannya juga bagus. Saya ingin menyebut nama kontraktornya di dua sub-sektor ini. Tapi saya tidak tahu siapa. Pun saya tidak tahu siapa pengawasnya. Biasanya pekerjaan kontraktor lebih bagus kalau pengawasnya juga bagus. Sampai lepas Salatiga, menuju Semarang, saya masih berterima kasih kepada Presiden Jokowi. Tapi tidak bisa ngebut lagi. Banyak tikungan, tanjakan dan penurunan. Saya sempat berterima kasih kepada perencana tol di wilayah ini. Di beberapa tempat disediakan tiga lajur. Tiga lajur itu penting untuk pengendara kendaraan kecil. Agar bisa melaju kencang. Di beberapa tanjakan di situ banyak truk yang berjalan lambat menyelip truk yang lebih lambat. Maka kendaraan kecil bisa memanfaatkan lajur tambahan itu untuk tancap gas. Sampai Bawen saya berhenti berterima kasih kepada Presiden Jokowi. Saya ganti berterima kasih kepada Presiden SBY. Jalur Bawen-Semarang ini dibangun di zaman Presiden SBY. Di kawasan pegunungan Ungaran ini terlihat banyak jalur khusus untuk mobil yang rem-nya blong. Teman semobil saya rupanya belum pernah tahu kegunaan lajur itu. Kok ada jalan exit tapi dibuat menanjak, lalu buntu. Maka saya harus menjelaskan padanya: kalau di jalan yang menurun tadi ada mobil yang rem-nya blong sopir bisa memasukkan mobil ke lajur itu. Tanjakan di lajur itu akan membuat laju mobil (khususnya truk bermuatan berat) melambat. Lalu berhenti karena membentur ujung lajur darurat itu. Di kawasan ini juga banyak jembatan panjang yang pilarnya harus sangat tinggi. Saya pernah turun sampai ke sungai itu saat jalan tol ini lagi dibangun oleh BUMN. Beberapa kali mobil saya tertancap di lumpur proyek. Yakni saat saya meninjau pekerjaan mereka. Sampai di Semarang saya ganti mengucapkan terima kasih –kepada siapa ya? Kok saya lupa. Mungkin kepada Pak Harto. Atau Pak Habibie. Atau Gus Dur. Atau Bu Megawati. Yang jelas sebelum zaman Presiden SBY. Inilah sektor yang amat padat. Hanya terdiri dari dua lajur. Jalannya naik dan naik. Banyak truk yang termehek-mehek di situ. Macet. Mungkin menunggu presiden setelah Pak Jokowi untuk mengatasinya. Di sektor Semarang-Pekalongan saya kembali berterima kasih kepada Presiden Jokowi. Di sektor ini saya bisa melihat ke kanan jalan. Ada pembangkit listrik raksasa sebelum masuk kota Batang. Di utara jalan. Itulah PLTU pertama di Indonesia yang menggunakan teknologi super-super-critical. Bikinan Jepang. Itu, juga PLTU pertama yang ukurannya terbesar di Indonesia. Satu unitnya menghasilkan listrik 1.000 MW. Ada dua unit di situ. Berarti satu lokasi ini saja menghasilkan listrik 2.000 MW. Itulah PLTU milik Boy Thohir –kakak Erick Thohir. Itulah pula proyek PPP (Public private partnership) pertama di Indonesia. Biayanya sekitar Rp 40 triliun. Izin PLN-nya ditandatangani oleh orang yang sekarang sudah bukan sesuatu lagi. Ups... Itu bukan proyek 1.000 MW pertama di Indonesia. Ada PLTU lain yang meskipun memulainya belakangan tapi selesainya lebih dulu. Satu di Cilacap. Satu lagi di Banten. Masing-masing 1 unit, @1000MW. Teknologi dari Tiongkok. Sejak itu kelistrikan di Indonesia memasuki tahap unit 1.000 MW. Nah, setelah Pekalongan ini pengemudi harus waspada. Jalannya bergelombang. Sebagian kelihatannya akibat truk kelebihan muatan. Di sektor ini juga harus melihat baik-baik: di setiap kali ada jembatan. Sambungan antara badan jalan dan jembatan itu selalu bermasalah. Terasa badan jalannya turun. Lebih rendah dari konstruksi jembatan. Terlihat pula sambungan itu sudah selalu ditambal aspal. Tapi tetap saja tidak boleh ngebut. Penumpang yang di dalam mobil bisa terbang –nyundul atap mobil. Sampai di Brebes kondisinya masih sama. Sampai di Cirebon masih sama. Tapi saya tetap harus mengucapkan terima kasih kepada Presiden Jokowi. Mungkin juga sambil mengucapkan terima kasih kepada Presiden SBY. Di sektor ini di zaman Presiden SBY-lah terjadi penyelesaian kebuntuan. Yang saya sempat sewot: kenapa izin itu tidak dulu-dulu dicabut saja. Agar keesokan harinya BUMN bisa mengerjakannya. Izin itu terlalu lama disandera pemegangnya. Tidak kunjung mau mengerjakan tapi juga tidak mau mengembalikan izin. Yang berwenang pun tidak mau mencabut –khawatir digugat ke pengadilan yang malah bisa lebih molor. Sayang, saya bukan yang berwenang mencabut izin itu. Akhirnya terjadilah transaksi. Izin itu harus dibeli. Enak banget pemilik izin itu. Jualan selembar kertas laku ratusan miliar rupiah. Maka seandainya Presiden SBY dapat perpanjangan satu tahun masa jabatan jalan tol di sektor ini selesai juga. Tapi ini memang rejeki Pak Jokowi. Dari Cirebon ke Cikampek saya kembali bingung: harus berterima kasih kepada siapa. Mestinya kepada Pak SBY. Tapi baiklah saya berterima kasih kepada Pak Jokowi. Presiden Jokowi-lah yang meresmikan sektor Cirebon-Cikampek ini –hanya beberapa bulan setelah menjadi presiden. Nah, setelah sampai di Cikampek saya harus kembali ingat kepada Pak Harto. Inilah jalan tol yang dibangun di zaman beliau. Yang diperlebar di zaman Bu Mega dan Pak SBY. Yang ditambah tol layang di zaman Pak Jokowi. Begitu banyak Presiden yang harus diingat di sejarah jalan tol ini. Tapi saya juga maklum kalau banyak orang yang mengatakan Presiden Jokowi-lah yang membangun tol Surabaya-Jakarta. Rejeki orang berbeda-beda. (*)
Sumber: