Sudah Hijrah? Hijrah Apa?
Mulyono, seperti ditulis Dahlan Iskan di DI's Way 19 Agustus kemarin, melakukan hijrah yang luar biasa: umur 45 tahun harus zero utang. Sebagai anggota MTR (Masyarakat Tanpa Riba) dia punya tekad yang kuat untuk itu. Maka, utangnya di BRI yang pernah mencapai Rp 40 M, berniat dilunasinya. Meleset 2 tahun. Baru pada usia 47 benar-benar lunas. Bukan, salah Mulyono, banknya juga tidak rela "nasabah manisnya" tiba-tiba melunasi utangnya. Tapi, tekad pengusaha pupuk organik, peternak cacing, peternak lalat, peternak belatung yang sampai diekspor ini, sudah bulat, dia harus terbebas dari riba. Sukses. Penulisnya, Dahlan Iskan sendiri, juga berkali-kali berhijrah. Dari kampung halamannya di Magetan. Pertama ke Surabaya untuk kuliah di UINSA (dulu IAIN Sunan Ampel). Mrotol di tengah jalan karena lebih senang jadi aktivis sekaligus menulis. Lalu, hijrah lagi ke Samarinda, ikut kakak nomor satu. Bakat menulisnya ditumpahkan di harian lokal di sana. Terpilih menjadi peserta jurnalistik di Jakarta. DI beruntung dapat magang di Tempo. Bakat dan karyanya segera terendus. Pelatihan usai, DI dirayu agar tetap bekerja di Tempo tanpa status magang. DI tak mau karena harus mengabdi kepada media yang mengirimnya. Ada jalan tengah, tetap bekerja di media lokal tapi juga menulis untuk Kompas dan Tempo. Akhirnya, DI memilih bergabung Tempo, walau Kompas juga terus mengejarnya. Sebagai wartawan Tempo dia punya masterpiece liputan tenggelamnya kapal Tampomas yang dahsyat itu. Pujian datang dari mana pun. Hadiahnya: dipromosikan sebagai kepala biro Tempo Jatim. Sebagai pejabat Tempo di daerah, hidupnya, tentu sudah terbilang enak. Tapi, anehnya, DI mau hijrah lagi. Dia menganggukkan kepala ketika Dirut Grafiti Pers (antara lain menerbitkan Tempo) Erick Samola menawarinya memimpin Jawa Pos. Padahal ketika itu, JP hanya beroplah 6 ribu eksemplar. Padahal, ketika itu Tempo sedang jaya-jayanya. Tak heran di internalnya, DI yang mau ke JP sangat disayangkan, bahkan ada yang men-stupid-kan. DI tak ragu sedikit pun. Dia geluti JP mulai dari Kembang Jepun. Luar biasa kerja kerasnya. Membesar. Tempat tidak cukup. Pindah ke Karah Agung. Meraksasa, tidak cukup. Pindah ke Graha Pena yang berlantai 21 itu. Yang milestone itu. Yang punya ratusan koran di daerah itu. Yang punya ratusan perusahaan itu. Anehnya, JP yang raksasa itu, "voluntarily" ditinggalkan DI, untuk berhijrah lagi di tempat baru yang lebih peaceful. Hari ini, kita peringati tahun baru hijriah 1442. The Mother of All Hijrahs, induk dari segala hijrah. Hijrah Rasulullah SAW dan rombongannya (kaum muhajirin) dari Makkah ke Madinah, untuk membesarkan risalah agamanya. Sukses besar. Kita pun yang nun jauh di sini, menjadi umatnya. Alhamdulillah. Mulyono hijrah, DI hijrah, dan nabi besar kita melakukan "induk dari segala hijrah" sehingga dijadikan tonggak penangggalan hijriah. Begitu pentingnya hijrah. Pertanyaannya: Sudah hijrahkah kita? Hijrah apa? Sekali lagi: Anda? Saya? Sudah berhijrah apa? Untuk kemajuan diri dan umat. Salam! Ali Murtadlo, Kabar Gembira Indonesia (KGI)
Sumber: