Manusia Tikungan Pertanda Resesi

Manusia Tikungan Pertanda Resesi

Ini juga bisa dianggap pertanda resesi: manusia tikungan (mantik). Dulu disebut polisi cepek. Saya tak mau menyebut begitu. Pertama, kasihan pak polisi. Kedua, kenyataannya sudah tidak cepek lagi. Kian hari kian banyak, bahkan tikungan yang sangat tidak perlu. Ada yang memang sangat diperlukan seperti kalau kita dari Pondok Jati/Perumahan Bhayangkara sampai di McD mau menyeberang ke arah Bungurasih. Mutlak diperlukan. Pertama, tak ada lampu lalu lintasnya. Kedua, lalu lintasnya kelas berat: truk dan bus. Ketiga, jalannya kencang. Tapi, ada juga yang sangat tidak diperlukan. Misalnya, di putaran balik dari Jalan Nginden Semolo memutar ke Untag, menurut saya, sangat tidak diperlukan. Karena, mantiknya justru berlindung di sebelah mobil kita. Sebetulnya, kalau mau lebih bermanfaat, perlu dijaga dua orang. Yang satu, bagian mencegat kendaraan, satunya lagi, bagian menerima uangnya. Lalu, dibagi. Ada juga yang tidak perlu, jika sebelum tikungan yang ada mantiknya itu, sebelumnya sudah ada traffick lightnya. Jadi, kalau pas merah, otomatis, jalannya lengang, tak perlu bantuan mantik. Tapi, jangan terkecoh, peluit tetap ditiup keras-keras, bendera tetap dikibarkan seolah lalu lintasnya lagi ramai, padahal kosong melompong karena lampu merah. Akhir-akhir ini di tikungan-tikungan yang tidak diperlukan, bermunculan mantiknya. Di sepanjang Jalan Prapen yang jembatannya dilebarkan dan sebetulnya relatif sepi, kini juga ada. Padahal di situ panasnya luar biasa, pohon yang ditanam, masih belum tumbuh tinggi. Di Jalan Raya MERR juga, kini hampir di setiap tikungannya ada mantiknya. Hampir semuanya tidak diperlukan karena mereka berada di sebelah kanan kita dan jalanan pun relatif lancar. Ini survey kecil-kecilan saya. Siapa yang sering memberi? Orang yang senasib. Artinya orang merasa bahwa cari duit itu sulit, harus kerja. Contohnya, sopir box, sopir pengangkut air minum, sopir bahan bangunan, sopir truk. Lihatlah, kalau mereka tidak punya uang receh, apa yang diberi? Sebatang rokok. Kekompakan warga alit yang luar biasa. Sedang mobil kelas menengah, ada yang memberi ada yang tidak. Siapa yang paling tidak memberi? Mohon maaf mobil mewah. Yang saya maksudkan yang kelas seperti Alpard dan di atasnya. Saya tahu mengapa kok tidak memberi? Karena, yang bawa sopir. Sedang sopir mendapat "jatah" uang receh. Yang kedua, fokus ke jalan, jangan buka-buka cendela. Saya sering bertanya kepada teman-teman, apakah mereka memberi atau tidak. Jawabannya imbang: memberi dan tidak. Semuanya ada alasannya. Yang memberi karena sekarang lagi masa sulit, pekerjaan apa pun asal halal dilakukan, termasuk menjadi manusia tikungan perlu disupport. "Kalau saya sudah saya niati dari rumah, jadi di mobil saya, selalu disediakan istri bendelan uang 2 ribuan, yang sudah tertata rapi, sehingga saya tinggal mengambilnya satu per satu. Karena sudah saya niati ya beri begitu saja," kata dirut sebuah harian yang berkali-kali saya nunuti. Yang tidak? Alasannya juga kuat. "Saya khawatir, nanti itu dianggap sebagai pekerjaan. Mula-mulanya hanya daripada nganggur setelah pekerjaan hilang. Tapi, kalau keenakan, bisa kebablasan," kata teman yang fanatik tidak mau memberi kepada pengemis, pengamen jalanan, dan mantik ini. "Selain itu, ada perdanya. Kita dilarang memberi," katanya. Tapi, menurut saya, tidak akan jalan, karena ada yang melebihi perda: perintah tangan di atas lebih mulia daripada tangan di bawah. Bu Risma mungkin risi melihat semua tikungan di kotanya, dijaga mantik. Karena itu, setiap pagi dan sore, di tempat tertentu dikerahkan satpol. Sementara para mantik menunggu dan mengintip, begitu pasukan Bu Risma bubar, langsung kembali ke posisi. Berapa rata-rata pendapatannya. "Yang di dekat McD menuju Pondok Jati itu, jutaan. Tapi, 24 jam dan banyak shift lho ya," kata kenalan saya yang biasa menitipkan motor di situ. Tapi, itu benar-benar kerja. Benar-benar menyetop kendaraan, truk dan bus. Fungsinya: vital sekali. Tak heran kalau pagi dan sore sering dijaga polisi. Yang kelas menengah? "Antara Rp 200 ribu sampai Rp 500 ribu," kata mantik di U-turn Jalan Panjangjiwo yang juga ramai. Yang kelas kecil, yang sebetulnya, sama sekali tidak diperlukan. Seperti di ujung jalan Untag depan Kecamatan Sukolilo lalu putar balik ke Brimob, sehari kurang dari Rp 50 ribu. Makanya, karena tikungan "garing" jarang ditunggui mantik. Semoga ini hanya untuk sementara saja. Darurat. Mengatasi masa sulit saat pandemi. Kelak, ketika situasi sudah normal kita kembali bekerja normal. Badai pasti berlalu. Tetap semangat dan salam! Ali Murtadlo, Kabar Gembira Indonesia (KGI)

Sumber: