Anak-Anak Go-Food

Anak-Anak Go-Food

Anak dan menantu saya datang ke rumah. Tangannya menenteng cup kopi yang aneh-aneh. Begitu juga istrinya, teh yang aneh-aneh itu, yang counternya di mall selalu diantre itu. Sama saja. Anak pertama maupun kedua, begitu juga istrinya. Padahal, mamanya sudah menyiapkan rebusan daun salam tanaman sendiri atau infused water dari lemon atau timun atau campuran dari aneka buah. Saya tetap menyodorkan minuman sehat bikinan rumah. Diminum sekedarnya. Yang dihabiskan tetap minuman tentengannya. Sudah saya ingatkan: pertama, kadar gulanya terlalu tinggi. Kedua, musim covid, jangan minum dingin. tapi, rasanya tidak ngefek. Tiba makan siang, tiba juga pesanan mereka. Aneh-aneh juga. Padahal, mamanya sudah menyiapkan sayur daun katuk tanaman sendiri, tempe, tahu dan ayam kampung goreng. Tetap saja yang dimakan pesanan mereka sambil menambah lauk ayam gorengnya. Betapa sulit menghidangkan makanan dan minuman rumah bagi anak-anak kita. Jelas lebih sehat, halal, dan thoyyibnya. Jeruk Pacitan (baby) yang sudah diiris tinggal dimakan, hanya diambil satu dua iris. Setelah mereka pulang,, saya dan istri sering mengobrolkan cara makan kita dan cara makan anak-anak. Memang sudah bisa mencari nafkah sendiri. Beli pakai uang mereka sendiri, tapi kita membatin begini: kalau gaya hidupnya begini, bisa menabung tidak ya? Kapan beli rumahnya ya? Sangat beda dengan orang tuanya. Punya uang sedikit ditabung. Makan diirit-irit. Ke kantor bawa makanan dari rumah. Lebih hemat, lebih sehat. Karena, tanpa MSG, sedikit garam, tanpa santan, tanpa atau sesedikit mungkin pakai minyak goreng. Meski berkali-kali diberitahu bedanya makanan rumah dengan makanan beli tetap saja tidak menghentikan kesukaan mereka untuk jajan. Makanan rumah tujuan nomor satu adalah sehat, sedangkan makanan beli pasti nomor satu adalah lezat. Karena itulah yang dibeli dan dimaui konsumennya. Sehat nomor dua atau bahkan tidak bernomor. Maka, mereka pakai MSG dan bumbu penyedap lainnya, ditumis dulu, menabur garamnya saat mendidih padahal menurut teori setelah masakan selesai ketika sudah disajikan di meja. Namun, kadang-kadang orang tua katut juga. "Saya bawain bubur enak yah. Bubur SMP 6. Tunggu ya, sebentar lagi saya nyampe rumah," kata anak saya yang dua-duanya fanatik bubur di Jalan Jawa itu. Terus terang, saya tidak tahu apa bedanya dengan bubur ayam yang dijual di pinggir jalan depan rumah. Saya tidak habis pikir mengapa untuk beli bubur saja harus pergi ke sana. "Mam, saya lagi di Pasar Atom. Di sini, rujak cingurnya terkenal enak mam. Saya belikan dan saya kirim pakai gojek ya karena kita gak bisa ngantar. Mas ada acara," kata menantu kedua saya yang sangat fanatik ke Pasar Atom. "Yah, ga ikut? Aku sama Kakak mau ke Bu Tari," kata anak kedua saya. "Lho, kan di rumah ada banyak daging {kiriman kurban}?" kata saya. "Ya, tadi saya sudah makan gulenya. Tapi, ga ada nasi putihnya, hanya nasi merah. Kebetulan, kakak dan aku lagi pengin pecel Bu Tari," katanya. Pecel Bu Tari adalah pecel di depan RS Premier Taman Intan Nginden, langganan keluarga kami. Enak. Setidaknya keluarga kami cocok. Bagaimana anak-anak Anda? Apakah ini fenomena anak zaman now? Salam! Ali Murtadlo, Kabar Gembira Indonesia (KGI)

Sumber: