Politik Daging Kurban

Politik Daging Kurban

Oleh Arief Sosiawan Pemimpin Redaksi Jumat 10 Dzulhijjah 1441 H (31/8) hingga Sabtu, Minggu, dan Senin (1-3 Agustus) hampir semua belahan bumi dibanjiri darah. Darah yang mengucur dari jutaan hewan kurban kaum muslim untuk memeringati hari raya Iduladha. Menurut sejarah, Iduladha ada setelah Nabi Ibrahim AS menerima wahyu dari Allah SWT untuk menyembelih sang anak tercinta, Ismail, ketika masih berusia kanak-kanak menjelang remaja. Banyak ulama mengajarkan kepada umat bahwa kejadian penyembelihan ini tidak lain karena Allah SWT menguji keikhlasan dan kesabaran Nabi Ibrahim, setelah bertahun-tahun sebelumnya tidak dikaruniai anak. Alhasil, kejadian fantastis--kala itu mungkin disebut begitu--ini pantas dijadikan teladan bagi seluruh umat Islam agar mampu mencontoh keikhlasan dan kesabaran sang nabi dalam menjalani kehidupan di dunia sepanjang waktu. Tak hanya itu, perintah Allah SWT kepada Nabi Ibrahim yang juga disebut bapak para nabi itu selayaknya dapat dijadikan inspirasi setiap manusia yang mengimani Islam bahwa hidup di dunia haruslah berkurban jika memiliki kemampuan. Kini, kejadian ribuan tahun itu telah turun-temurun dilakukan anak-cucu Nabi Ibrahim AS. Setiap muslim yang memiliki kemampuan selalu melakukannya setiap tahun. Muncul pertanyaan. Pertama, apakah anak-cucu Nabi Ibrahim kini benar-benar meneladani dengan melakukannya secara ikhlas dan penuh kesabaran? Kedua, keikhlasan dan kesabaran apa yang dilakukan anak-cucu Nabi Ibrahim AS mengingat kini dunia sudah jauh berbeda dengan zaman sang nabi masih hidup? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu tentu bergantung kepada pribadi setiap individu yang berkurban. Dipastikan seyakin-yakinnya setiap individu, niat dan suara hati masing-masing berbeda ketika berkurban. Ada yang memang lillahita’ala (niat demi Allah semata). Ada juga karena ingin bergaya, pun ada yang karena ingin disanjung dan dilihat orang lain seakan sang pekurban itu memiliki jiwa agamis. Lebih parah lagi (barangkali) ada yang berkurban karena politik mengingat tahun ini adalah tahun politik. Di sana-sini, di masjid satu ke masjid lainnya, di kampung A ke kampung B, ke kampung C, dan sebagainya, ada yang merogoh kocek pribadi menyerahkan satu atau lebih hewan kurban agar dirinya dikenal dan disebut-sebut ketika penyembelihan dengan maksud dan tujuan agar diingat dan dipilih masyarakat ketika pemilihan kepada daerah (pilkada) digelar. Sejujurnya tindakan itu sah-sah saja. Masyarakat pun tahu kalau itu sah-sah saja meski ada yang menyebut itu sebagai politik daging kurban. Tapi, tentang etika dan moral, tindakan semacam itu rasanya tidak layak dilakukan calon pemimpin sekelas bupati atau wali kota, apalagi dibalut dengan langkah-langkah politik seperti menambahkan dengan memberi kaus bergambar sang calon pemimpin untuk dipakai ketika proses penyembelihan hewan kurban. Lantas? Semua itu terlalu absurd untuk dibantah atau dibenarkan. Jadi, rasakan saja bahwa itu memang benar-benar ada. Di negara kita. Indonesia. (*)

Sumber: