Bermotif Kecemburuan Politik, Pemakzulan Bupati Jember Diprediksi Bakal Ditolak Mahkamah Agung
Jember, Memorandum.co.id - Keputusan politik memakzulkan Bupati Faida yang dilakukan DPRD Jember melalui mekanisme Hak Menyatakan Pendapat (HMP) baru berupa usulan dan masih perlu dimintakan fatwa hukum ke Mahkamah Agung (MA). Sehingga, berdasar hukum, dr Faida MMR tetap sah sebagai Bupati Jember. Hal itu dinyatakan Pakar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Dr. Agus Riewanto. Dia menjelaskan, pemakzulan yang dilakukan DPRD Jember kepada Bupati Faida baru sebatas usulan yang bersifat politik berupa penggunaan HMP yang diatur dalam UU No.23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah. Artinya, usulan itu belum mengikat secara hukum ketatanegaraan. "Namun dalam proses penyampaian pendapat itu tampaknya sangat politis dan terburu-buru karena belum terpenuhi hukum formal yang diatur dalam Undang-undang Pemerintah Daerah, antara lain proses pemanggilan harus disertai dengan materi pertanyaan yang akan disampaikan dalam penyampaian hak pendapat dan bupati seharusnya diberi kesempatan untuk menjawab secara resmi dalam sidang paripurna DPRD itu terkait pertanyaan-pertanyaan yag diajukan DPRD," jelas Agus Riewanto Jumat (24/7). Ketidakhadiran Bupati Jember dalam rapat paripurna DPRD karena mempertimbangkan situasi masih dalam ancaman pandemi Covid-19 dan untuk menghindari bentrok massa. "Dari penyampaian Bupati, ketidakhadirannya yang kami dengar karena di tengah Pemerintah Kabupaten Jember masih dalam ancaman Covid-19 dan untuk menghindari bergerombol orang. Bupati meminta digelar secara virtual (daring) atau meeting zoom, seharusnya direspon positif DPRD agar proses usulan HMP di sidang paripurna DPRD berlangsung secara fair dan publik dapat mengetahui secara pasti jawaban Bupati atas tuduhan negatif kinerja Bupati selama ini. Maka tanpa kehadiran Bupati dan tak diberinya kesempatan menjawab secara resmi dalam sidang paripuran itu terkesan sangat dipaksakan," tandasnya. Kendati usulan pemakzulan oleh DPRD telah berlangsung, tidak otomatis memberhentikan posisi Bupati. Masih diperlukan jalan panjang untuk dapat memberhentikan Bupati. HMP dari DPRD itu masih harus dimintakan fatwa hukum ke MA yang harus disertai dengan alat bukti otentik. MA memiliki waktu 30 hari sejak diregister untuk memberikan fatwa hukum. Proses selanjutnya, hasil Fatwa hukum MA itu masih harus dibawa dalam sidang Paripurna di DPRD. Kalau nanti dalam fatwa MA itu Bupati sebaliknya dinyatakan tidak bersalah, maka tidak bisa dilanjutkan. "Jika dalam fatwa MA bupati dinyatakan bersalah masih di sidang paripurna untuk dimintakan usulan Mendagri melalui Gubernur, jadi yang memberhentikan bupati itu bukanlah DPRD melainkan Menteri Dalam Negeri melalui usulannya gubernur" urainya. Dalam konteks pemakzulan Bupati Jember ini tampak sekali masalah utamanya adalah kecemburuan politik dan DPRD melakukan gerakan politik secara sistematis untuk mengadang agar petahana kalah dalam Pilkada. Faktornya karena petahana mencalonkan diri untuk kali kedua melalui jalur perseorangan. "Dalam Undang-undang nomor 10/2016 tentang Pilkada, pintu pencalonan Bupati disediakan dua jalur, yakni, melalui jalur partai dan jalur perseorangan yang ketentuannya diatur secara rigid," jlentrehnya. Agus Riewanto menambahkan, pemakzulan yang lebih disebabkan karena alasan politis sulit dikabulkan oleh fatwa hukum MA. Berdasarkan yurisprudensi Putusan-Putusan MA yang dikabulkan adalah alasan pemakzulan berdasarkan tindak pidana dan perbuatan tercela. Dapat dibaca dari putusan MA dalam kasus pemakzulan Bupati Katingan karena berzina, pemakzulan Bupati Garut karena mengawini gadis di bawah umur dan pemakzulan Wabub Gorontalo karena korupsi. "Sedangkan pemakzulan Bupati Jember karena alasan politis sulit dikabulkan MA. Adapun alasann pemakzulan karena kesalahan dalam penyusunan SOTK dan pelanggaran merit dalam sistem kepegawaian sesungguhnya sudah tuntas dan sudah difasilitasi oleh Mendagri dan DPD RI," sambungnya.(edy)
Sumber: