Tabligh
Oleh: Dahlan Iskan Begitu mendarat di Lahore saya harus mencari masjid. Untuk salat Jumat. Saya ingat beberapa teman saya yang anggota Jamaah Tabligh. Yang sering ‘ijtima’ ke Lahore. Saya pun memutuskan: ke pusatnya Jamaah Tabligh itu. Setengah jam dari pusat kota Lahore. Sopir saya mengaku tahu menuju ke sana. Tapi ternyata kesasar. Padahal sudah dua kali berhenti. Bertanya ke sopir angkot di pinggir jalan. Saya lihat ia berhenti lagi. Bertanya lagi. Setelah lima kali bertanya akhirnya masuklah kami ke jalan sempit. Kanan-kirinya padat dengan toko, kaki lima, warung, pangkalan angkot, dan segala macam. Pokoknya khas daerah pinggiran di Pakistan: ruwet. Di salah satu simpang tiga terlihat pintu besi. Gerbang yang ditutup rapat. Yang catnya sudah kusam. Saya pastikan: di balik gerbang itulah tempat yang saya tuju. Terlihat sesekali gerbang dibuka. Beberapa orang berpakaian khas Pakistan masuk. Saya pun turun dari mobil. Memastikan apakah di situ pusatnya Jamaah Tabligh. Lalu saya sadar: saya tidak pakai penutup kepala. Padahal mau salat Jumat di tempat ini. Yang semua orang pakai ‘topi haji’. Tapi penjaga gerbang itu menyilakan saya masuk. Seperti tidak menganggap saya aneh. Berarti saya diterima dengan baik di situ. Meski saya pakai celana panjang. Pakai sepatu ket. Tidak berjenggot. Tidak pakai penutup kepala. Saya sendiri yang merasa sungkan. Saya pun minta izin meninggalkan gerbang itu. Menuju toko kain di depan gerbang. Untuk beli ‘topi haji’. Ternyata toko kain itu tidak jual topi. Juga tidak bisa bahasa Inggris. Pun tidak bisa bahasa Arab. Dengan bahasa isyarat saya utarakan maksud saya: perlu ‘topi haji’ untuk salat Jumat. Penjaga toko minta saya menunggu. Dicarikanlah di rak-rak kainnya. Sepertinya ia ingat pernah menyimpan barang yang saya maksud di salah satu rak. Bongkar sana, bongkar sini. Ketemu. Topi haji khas Pakistan. Saya pun kembali masuk gerbang. Salah seorang menyapa saya dalam bahasa Melayu. Dikira saya dari Malaysia. Setelah saya jelaskan ia senang. “Saya pernah ke Sumatera,” katanya. Masih dalam bahasa Melayu. “Ke Riau, Padang, Lampung,” tambahnya. Ia orang Pakistan asli. Tapi sudah ke mana-mana. Menyebarkan ajaran bagaimana berislam secara Jamaah Tabligh. Yang intinya harus kembali ke kitab suci dan ajaran Nabi Muhammad sesuai dengan aslinya. Termasuk cara berpakaian dan cara salat. Dari gerbang itu saya diantar ke masjid. Yang terletak sekitar 100 meter dari gerbang. Sebenarnya tanpa diantar pun saya tahu kalau masjidnya ada di situ. Kan kelihatan nyata. Banyak orang menuju ke sana. Juga ada dua menara tinggi di sebelahnya. Masjid ini besar. Besar sekali. Perkiraan saya bisa menampung 20.000 jemaah. Termasuk di lantai dua di bagian belakang itu. Saya pun masuk masjid. Penuh. Saya mengambil sela-sela di barisan ke lima. Agar bisa melihat imam dan pengkhotbahnya. Tepat jam 13.00 terdengar suara azan. Keras sekali. Saya agak kaget. Kok sudah azan? Bukankah petugas gerbang tadi mengatakan salat dimulai pukul 13.40? Ternyata itu suara azan dari masjid sebelah. Yang pakai pengeras suara yang sangat nyaring. Sampai seperti dari masjid ini. Lalu ada suara azan yang lain lagi. Yang agak kurang keras. Dari masjid yang lain lagi. Saya mengambil Quran. Membacanya. Di sebelah saya juga membaca Quran. Tapi konsentrasi saya terbelah. Ada suara khotbah yang sangat keras masuk ke dalam masjid ini. Dari masjid yang azannya juga keras tadi. Saya bisa mengikuti amat jelas khotbah itu. Khotbahnya panjang sekali. Sampai jam 13.40 masih belum selesai. Sayang bahasanya Urdu. Tidak tahu apa yang dikhotbahkannya. Pada jam itu barulah pintu di sebelah tempat imam terbuka. Seorang ulama masuk. Mengambil tongkat yang baru saja disiapkan petugas. Lalu duduk di kursi tempat khotbah. Tanpa mengucapkan ‘assalamu alaikum’. Setelah pengkhotbah duduk barulah seseorang di depannya berdiri. Azan. Suaranya tidak keras atau dikeras-keraskan. Nadanya juga tidak dipanjang-panjangkan. Azan yang lugas. Total hanya satu menit. Setelah azan khotbah pun dimulai. Dalam bahasa Arab. Hanya dua menit. Pengkhotbah duduk. Tidak ada suara apa pun. Lalu berdiri lagi. Khotbah kedua yang berisi doa. Tiga menit. Dengan demikian total khotbah itu hanya lima menit. Ketika khotbah selesai, ternyata khotbah keras dari masjid sebelah juga baru selesai. Saya tersenyum dalam hati. Saya perhatikan iqomah sebelum salat. Ternyata agak beda. Persis seperti azan. Hanya ditambah ‘marilah salat’. Begitu salat selesai banyak yang langsung berdiri. Tidak dzikir atau wirid. Saya perhatikan hanya saya yang pakai celana panjang. Dan kaus panjang. Dan tanpa jenggot. Saya merasa jadi pusat perhatian. Tapi hanya satu orang yang bertanya: mengapa tidak berjenggot. Saya tidak bisa menjawab. Pertanyaan itu diajukan dalam bahasa Urdu. Tapi nada tanya dan gerak tangannya saya tahu maksudnya. Saya lantas keliling melihat dalamnya masjid. Di pinggir-pinggir tembok banyak terlihat kompor. Mereka memasak di dalam masjid. Saya tahu: anggota Jamaah Tabligh itu sangat mandiri. Melakukan perjalanan misi dakwah ke mana pun tidak akan merepotkan orang. Mereka membawa bekal sendiri. Masak sendiri. Tidur bisa di mana saja. Di pojok-pojok masjid penuh tumpukan bangkelan. Atau tas sejenis ransel. Mereka berada di masjid itu selama dua minggu. Atau satu bulan. Hanya memikirkan ibadah. Dan bagaimana mengembangkan misi. Di sekitar masjid terlihat seperti pondokan. Banyak jemuran. Di mana-mana. Mereka datang dari berbagai daerah di Pakistan. Yang sempat saya temui misalnya dari Balochistan. Atau dari Peshawar. Di Indonesia Jamaah Tabligh juga meluas. Setahun sekali kumpul di Karawang. Ratusan ribu orang. Di Magetan, kampung saya, juga besar. Pusatnya di Temboro. Sekitar 10.000 orang ada di sana. Di tingkat dunia anggota Jamaah Tabligh ini mencapai sekitar 20 juta orang. Di lebih 50 negara. Setahun sekali mereka berkumpul di Lahore. Ber-ijtima’. Di satu tanah kosong 20 hektare. Sekitar 5 Km dari markas mereka tadi. Saya sempat mampir ke lahan itu. Sedang dibangun toilet besar-besaran. Untuk melayani sekitar 2 juta orang. Memang di sinilah tempat terbesar kedua berkumpulnya orang Islam setahun sekali. Setelah Mekah-Madinah. Banyak yang salah sangka. Terhadap tampilan pakaian dan jenggot anggota Jamaah ini. Padahal mereka dikenal kelompok yang sangat damai. Sama sekali tidak pernah terlibat kekerasan. Dunia memang sering salah sangka. Di mana saja.(*)
Sumber: