Sang Kekasih Ternyata Perempuan Simpanan Ayah

Sang Kekasih Ternyata Perempuan Simpanan Ayah

Oleh: Yuli Setyo Budi, Surabaya Suasana kacau. Ningsih segera diangkat ke sofa. Dibaringkan selonjor. Seluruh tubuhnya diblonyoh minyak kayu putih. Pelan tapi pasti kesadarannya berangsur pulih. “Aku mau pulang,” tuturnya lirih. “Ada apa?” tanya Nanang. “Takut. Aku pulang saja,” kata Ningsih sambil bola matanya liar berputar-putar. Ibu Nanang turut menenangkan, namun Ningsih pelan berusaha menepis tangan perempuan tersebut. “Takut, Tante. Ningsih Pulang saja,” kata Ningsih mengulangi permintaannya. “Ya sudah. Nanang, segera antarkan Ningsih pulang dulu. Perkenalannya kita tunda dulu,” kata ibunda Nanang. Sepulang mengantarkan Ningsih, Nanang mendapati ayahnya dicecar pertanyaan oleh sang ibu. Ayahnya diam seribu kata. Wajahnya pucat pasi. Nanang yang hendak masuk ruang keluarga, tempat ayah dan ibunya berbincang, surut ke belakang. Dia menggeser posisinya menyembunyikan diri di balik dinding penyekat. Dia ingin mendengarkan apa yang mereka perbincangkan. Dia menajamkan telinga mendengarkan. “Mengapa Papa ketakutan melihat gadis itu? Ada apa? Tolong Papa berkata jujur,” kata sang ibu. “Sorot mata Papa tidak bisa berbohong.” “Aku juga melihat hal yang sama pada mata gadis itu.” “Aku jujur, Ma. Aku memang sepertinya mengingat gadis itu. Dia pernah magang di kantor Papa. Tapi sudah lama,” kata Erfan dengan kalimat tersendat-sendat. Cara bicaranya yang tidak los menandakan bahwa lelaki tersebut berkata tidak jujur. Ini sangat dipahami istrinya, yang sudah berpuluh-puluh tahun mendampingi Erfan. Prang!!! Sebuah keramik guci antik yang pernah dibeli di Sichuan, Tiongkok, dan selalu dibanggakan Erfan hancur berantakan karena beradu dengan kerasnya lantai. “Mama sengaja berbuat seperti ini agar anak kita tahu betapa bejat perbuatan ayahnya.” “Agar dia tahu bahwa bapaknya tidak lebih dari dagelan ketoprak. Pandai bicara tapi hatinya kosong. Penuh belatung.” “Maafkan aku, Ma. Aku berjanji ini yang terakhir. Beri aku kehormatan di depan anak kita. Aku malu, Ma.” Nanang tidak menyangka, lelaki yang sering dia agung-agungkan itu ternyata begitu rendah di mata mamanya. “Apa sih kesalahan yang pernah diperbuat Ayah?” pikir Nanang sambil pelan-pelan melangkah masuk ke ruang keluarga. “Apa sih yang Ayah perbuat?” tanya Nanang sambil menatap Erfan. Ayahnya diam. Lelaki itu jatuh terduduk. Matanya seperti lekat dengan kotak-kotak keramik lantai. “Jelaskan!” teriak ibunda Nanang, “Jelaskan cepat!” “Ningsih adalah salah satu gadis simpanan Papa,” kata Erfan. (habis)  

Sumber: